Kabar24.com, JAKARTA - Keputusan Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X mengeluarkan Sabda Raja dan Dawuh Raja disesalkan kalangan keluarga Kraton Ngayogyakarta.
Cucu dari HB VIII, Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Jatiningrat yang menjabat sebagai Pengageng Tepas Dworo Puro (semacam Humas) Kraton mengungkap perjanjian Sri Sultan HB X sebelum jumenengan (naik takhta).
Menurut KRT Jatiningrat, ada lima perjanjian Sultan kepada HB IX sesaat sebelum diangkat menjadi Sultan HB X. Adapun Perjanjian tersebut, pertama; untuk tidak mempunyai prasangka iri dan dengki pada orang lain.
Kedua; untuk tetap merengkuh orang lain biar pun orang lain tersebut tidak senang.
Ketiga, untuk tidak melanggar paugeran negara;
Keempat; untuk lebih berani mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah.
Kelima; untuk tidak tidak punya ambisi apapun selain untuk menyejahterakan rakyat.
“Janji ini diucapkan Sultan sebelum jumenengan kepada almarhum HB IX,” kata KRT Jatiningrat.
Ia berharap Sultan tetap berpegang teguh pada paugeran Kraton. Pria yang akrab disapa Romo Tirun ini mengaku tidak paham dengan Sabda Raja yang diucapkan Sultan.
Ia mengartikan inti dari Sabda Raja itu tidak lain adalah keinginan Sultan mengangkat Gusti Kanjeng Ratu Pembayun menjadi putri mahkota.
Sultan mengeluarkan Sabda Raja pada Kamis (30/4). Inti dari Sabda Raja itu adalah mengubah gelar. Kemudian pada Selasa (5/5) Mei, Sultan mengeluarkan Dawuh Raja yang intinya mengganti gelar putri sulungnya dari GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng Ing Mataram.
Namun kerabat Kraton tidak sepakat dengan keputusan Sultan tersebut. Bahkan adik-adik Sultan menolak isi dari Sabda Raja tersebut karena menganggap sudah keluar dari Paugeran Kraton.
Keutuhan Keraton
Romo Tirun mengaku perbedaan pandangan antara Sultan dan para pangeran (Adik-adik Sultan) akan mempengaruhi keutuhan Kraton. Namun Romo Tirun merasa tidak berhak mencampuri urusan keluarga besar HB IX.
Romo Tirun berharap, polemik yang terjadi di internal Kraton tidak sampai mengganggu lembaga Kraton.
Ia mengakui abdi dalem bertanya-tanya soal polemik tersebut, namun ia menekankan abdi dalem harus kembali pada pengabdian untuk lembaga Kraton dan menjaga kebudayaan para leluhur.
“Mohon maaf, abdi dalem bukan pakune Sultan, tapi abdi negara, hanya mengabdi pada lembaga [Kraton] tinggalane leluhur".
Soal perbedaan pandangan di antara Sultan dan para pangeran (Rayi Dalem), Romo Tirun mempersilahkan untuk diselesaikan dengan baik-baik. “Semua punya tanggung jawab dan ada risikonya masing-masing,” ujarnya.
Meski sudah ada perubahan gelar dawi Buwono menjadi Bawono, sampai saat ini semua proses administrasi di Kraton masih menggunakan nama Sri Sultan Hamengku Buwono. (Ujang Hasanudin/JIBI/Harian Jogja)