Kabar24.com, JAKARTA– Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mendesak jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta untuk membuka identitas 83 jurnalis yang diduga menerima suap dari Sekretariat Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Ketua AJI Jakarta Ahmad Nurhasim menyatakan dengan membuka nama-nama mereka ke publik akan memberikan efek jera kepada para jurnalis yang diduga menerima suap.
“Kami mendesak jaksa KPK dan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta untuk membuka kepada publik daftar 83 nama jurnalis dan medianya yang diduga menerima uang haram dari Kementerian ESDM. Sekaligus mengkonfirmasi aliran dana haram itu, kami juga meminta jaksa dan hakim untuk menghadirkan 83 jurnalis tersebut sebagai saksi di pengadilan,” katanya, Jumat (8/5/2015) malam.
Sebelumnya, dalam dakwaan bekas Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Waryono Karno yang dibacakan di Tipikor Jakarta, Kamis (7/5), JPU KPK menyatakan uang panas Waryono mengalir kepada 83 jurnalis.
Waryono pada Desember 2011- Desember 2012, antara lain, memerintahkan anak buahnya memberikan uang kepada 83 jurnalis, dengan total Rp53,95 juta. Masing-masing jurnalis mendapat Rp650. 000.
Uang suap tersebut berasal dari dana ilegal yang dikumpulkan oleh Waryono dan anak buahnya dari Kegiatan Sosialisasi Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral Bahan Bakar Minyak Bersubsidi 2012.
Lebih lanjut, Ahmad berujar jurnalis yang menerima suap melanggar Pasal 7 ayat (2) Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal ini menyatakan setiap wartawan memiliki dan menaati kode etik jurnalistik.
Salah satu kode yang sangat penting, Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik, menyebutkan jurnalis Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap. Suap dalam bentuk apapun kepada jurnalis akan mempengaruhi independensi dalam kegiatan jurnalistik dan kebebasan pers.
Dengan kata lain, jurnalis yang menerima suap telah merusak independensinya dalam memberitakan hal-hal penting bagi publik. Jika kelak terbukti di pengadilan, jurnalis yang menerima suap tersebut telah menabrak UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan oleh Dewan Pers.
“Terbongkarnya aliran dana haram dari terdakwa korupsi kepada puluhan jurnalis tersebut telah menunjukkan bahwa suap telah merasuki awak media, yang seharusnya gencar membongkar dan melawan korupsi. Suap seperti ini jelas membahayakan independensi jurnalis dan media,” katanya.
AJI Jakarta juga mengingatkan kembali para jurnalis untuk menaati kode etik. Dengan menaati kode etik, jurnalis akan bekerja mengutamakan kepentingan publik, bekerja secara independen dan profesional, dan menghasilkan berita yang benar, akurat, dan bisa dipercaya oleh publik.
Kasus ini juga dinilai patut menjadi pelajaran bagi jurnalis untuk menolak segala bentuk benda, fasilitas, atau uang yang diberikan oleh narasumber. AJI Jakarta menyerukan kepada para jurnalis untuk menegakkan kode etik jurnalistik agar berita-berita yang dihasilkan benar, akurat, dan kredibel.
Kesempatan ini juga digunakan AJI Jakarta untuk mendesak semua kementerian dan lembaga negara non-kementerian agar menghentikan pemberian amplop kepada jurnalis dan menghapus anggaran amplop untuk jurnalis.
“Kami juga mendesak perusahaan media menggaji jurnalisnya dengan upah yang layak agar jurnalis tidak mudah tergoda menerima suap atau amplop dari narasumber. Untuk reporter yang baru bekerja setahun atau baru diangkat menjadi karyawan tetap di Jakarta, upah layaknya adalah Rp6,5 juta per bulan,” tutup Ahmad.