Bisnis.com, JAKARTA - Jokowi dan PDI-P bercerai? Itulah isu yang mulai dihembuskan oleh segelintir orang. Apa bisa? Tak ada yang tidak bisa di negeri ini. Di negeri ini saja barangkali ada Ketua Mahkamah Konstitusi tertangkap karena korupsi.
Indikasi 'perceraian' itu, pun bukan tidak ada. PDI-P partai penyokong Presiden Joko 'Jokowi' Widodo, pun kini mulai 'merongrong'. Kecaman terkait penaikan harga BBM hingga penempatan sosok pejabat negara, pun dikomentari.
Bahkan, terkait pembatalan Budi Gunawan sebagai Kapolri menggantikan Sutarman, pun kini dipertanyakan oleh PDI-P. Kondisi itu, wajar, jika kemudian orang menuding, kemitraan Jokowi dan PDIP retak, jika belum layak dikatakan pecah.
Lantaran, mislanya, sulit dipercaya jika PDIP tidak mengetahui alasan Jokowi membatalkan Budi Gunawan menjadi Kapolri. Budi Gunawan sendiri, adalah tokokh yang dicalonkan oleh PDIP, yang memiliki 19,5% kursi di DPR.
Bahkan, di media sosial, perselisihan itu pun menjadi topik. Para pendukung PDIP mempertanyakan: PDIP itu partai pendukung pemerintah atau oposisi?
Ada dugaan, tarik menarik yang dilakukan PDIP terhadap Jokowi mengenai beberapa persoalan, lantaran PDIP mencium gelagat, Jokowi akan 'menyeberang' ke kubu sebelah. Terutama dengan begitu kuatnya upaya untuk menggolkan Partai Golkar versi Ancol sebagai yang sah, termasuk di DPR.
Bila itu terjadi, memudahkan Jokowi masuk ke KMP. Lantaran, para pengganggu di tubuh Golkar sudah disingkirkan. Lalu, Jokowi menarik partai KMP menjadi ssatu dnegan KIH minus PDIP. Jika itu terjadi, PDIP bakal kembali menjadi partai oposisi.
Untuk itu, sejumlah tokoh menduga, PDIP ikut bermain untuk mengalotkan penyingkiran kubu Aburizal Bakrie. Termasuk dengan PPP. Pasalnya, jika persoalan dua partai yang terpecah itu tetap tiidak bisa disatukan atau diselesaikan, Jokowi akan terus bergantung kepada PDIP dan akan terus 'didikte' oleh PDIP: Petugas partai.
Namun, jika Jokowi mampu hengkang dari PDIP, persoalan terberat adalah membawa partai dari KPM lainnya ke kubunya. Bukan tidak mungkin, itu pun membuka ruang terbuka untuk dimainkan oleh kubu KMP minus Golkar. Bisa jadi, PKS, Gerindra, PAN, Demokrat akan berlabuh ke PDIP. Dan penyokong KIH tetap di PDIP. Jokowi pun bakal runyam, bahkan mudah ditumbangkan.
Mungkinkah hal itu terjadi? KIH sulit berseberangan dengan PDIP. KMP belum tentu menerima Jokowi dengan Golkar (jika kubu Agung Laksono menang).
So? Yah, situasi akan bakal rumit. Boleh jadi, langkah Jokowi untuk menjalankan posisi sebagai Presiden Indonesia tetap sulitm sesulit sosoknya menjadi Petugas Partai.
Namun, banyak skenario yang bisa dilakukan di pentas politik Indonesia. Sepanjang kepentingan kekuasaan antar mereka bisa dikompromikan. Ini Indonesia, Bung !!!.
Komposisi Kursi Partai di DPR
1. PDI Perjuangan 109 kursi (19,5%).
2. Partai Golkar 91 kursi (16,3%).
3. Partai Gerindra 73 kursi (13%).
4. Partai Demokrat 61 kursi (10,9%).
5. Partai Amanat Nasional (PAN) 49 kursi (8,8%).
6. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 47 kursi (8,4%).
7. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 40 kursi (7,1%).
8. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 39 kursi (7%).
9. Partai Nasdem 35 kursi (6,3%).
10.Partai Hanura 16 kursi (2,9%)
*Seperti diketahui, KPU menetapkan 560 calon anggota DPR RI terpilih periode 2014-2019.
BERBAGAI KRTIKAN PDIP Ke PRESIDEN JOKOWI
Tanggal Dan Politisi | Isi Kritikan |
28 - 1- 2015 - Ketua DPP PDIP Maruarar Sirait | Dia mengkiritik pemerintahan Joko Widodo. Dia meminta pemerintah berani mengajukan kebijakan amnesti pajak (tax amnesty) yang ditujukan untuk warga negara Indonesia yang mempunyai dana besar. Namun dana tersebut justru dititipkan diluar negeri.
|
6-2-2015 Profesor Hendrawan Supratikno | Dia mengkritik APBN Perubahan 2015 yang diajukan oleh Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla ke DPR. Pertama, terkait dengan penerbitan surat utang negara (SUN) oleh pemerintahan Jokowi-JK. "Mengapa pemerintahan Jokowi mengeluarkan surat pengakuan utang lebih besar daripada nominal SUN yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)," kata Hendrawan Supratikno, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta. |
23-2-2015 Politikus PDIP Masinton Pasaribu | Dia mengkritik kebijakan pemerintah Jokowi dalam sidang paripurna DPR yang digelar hari ini.
|
31-1-2015 Effendi Simbolon | Dia menilai Presiden Jokowi kepala negara yang prematur. Sebab, Jokowi belum mampu mengatasi persoalan di tanah air.
|
31-3-2015 Efendi Simbolon
| PDIP, partai pengusung Jokowi, akan menyusun masukan dan kritik untuk pemerintahan Jokowi-JK dalam Kongres PDIP 2015. Effendi Simbolon, anggota Komisi VII dari Fraksi PDIP, mengatakan pada awal penyelenggaran kongres dijadwalkan pemilihan ketua umum dan stuktur pimpinan baru periode 2015-2020. “Selanjutnya, akan dibahas masukan sekaligus kritik untuk Jokowi selama dia menjabat sebagai kepala negara,” katanya di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Selasa (31/3)
|
31-3-2015 Henry Yosodiningrat | Dia juga mengkritik kebijakan penggantian Kapolri itu. Terlebih, BG sudah dibebaskan dari status tersangka melalui putusan praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
“Dengan demikian tidak ada alasan, untuk tidak mengangkat Komjen Budi Gunawan Kapolri. Apabila Presiden menunjuk calon lain, maka Presiden harus menarik Komjen BG disertai alasan hukumnya," ujar dia.
Dia menyatakan pengangkatan pimpinan Polri bukan hak prerogatif Presiden. “Hak prerogatif tidak berbagi, tidak bersisa, tanpa perlu pendapat, persetujuan dari lembaga lainnya. Presiden menunjuk seseorang jadi pimpinan Polri, minta persetujuan DPR. Kewenangan presiden tidak mutlak, bukan hak prerogatif," kata Henry.
|
31-3-2015 Rieke Diah Pitaloka | Pemerintah tak mampu mengendalikan harga bahan pokok masyarakat, akibat dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM)
“Harga BBM mengikuti pasar, namun putusan MK sudah mencabut penentuan harga BBM dari pasar tersebut. Namun pada perkembangannya, harga BBM ternyata cenderung mengikuti harga pasar, sehingga menimbulkan efek domino," ujar dia.
Juga mengkritik rencana pemerintah untuk menaikkan iuran peserta BPJS. Baik yang ditanggung pemerintah maupun ditanggung peserta BPJS. Menurut dia belum saatnya hal itu dilakukan seiring dengan kenaikan bahan pokok. “Ini momen yang tidak tepat, saya minta pimpinan menyikapi soal ini," tandas Rieke. |