Bisnis.com, JAKARTA—Majelis hakim perkara sengketa antara PT Golden Spike Energy Indonesia (GSEI) dan PT Pertamina Hulu Energi Raja Tempirai (PHE RT) bisa diadukan ke Komisi Yudisial jika perilaku hakim dinilai menyimpang.
KY bisa merekomendasikan kepada Mahkamah Agung untuk memberikan sanksi kepada hakim tersebut apabila perilakunya menyimpang, misalnya menerima suap yang menabrak UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Menurut Ketua Setara Institute, Hendardi, pihak yang merasa dirugikan bisa mengadukan hal tersebut jika memiliki bukti kuat tentang adanya dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim.
“Pengaduan kepada KY adalah salah satu alternatif, apalagi jika terdapat kerugian negara di dalamnya” ujarnya, Selasa (17/2/2015).
Bahkan jika memang terdapat indikasi penyuapan kepada hakim, PHE RT pun bisa mengadukan kepada KPK. “Perlawanan harus dilakukan dengan segala upaya. Banyak contoh hakim yang ditangkap KPK karena menerima suap,” lanjutnya.
Kasus tersebut dinilai kontroversial, karena di dalamnya melibatkan pengadilan umum yang seharusnya tidak berwenang menangani perkara arbitrase.
Dalam kasus tersebut, GSEI mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan klaim ganti rugi atas kegiatan sole risk yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Upaya tersebut melanggar UU No. 30/1999 karena di dalam kontrak kerjasamanya sudah disebutkan, jika terjadi sengketa, maka akan diselesaikan melalui jalur abitrase di International Court of Chambers (ICC).
Anehnya, bukan menyatakan tidak berwenang menangani dan menyerahkan kepada arbitrase, majelis hakim justru mengabulkan sebagian gugatan tersebut.
Dalam putusannya, majelis hakim memerintahkan PHE RT untuk membayar kepada GSEI sebesar US$125 juta atau setara dengan Rp1,5 triliun. Saat ini, perkara tersebut sedang diperiksa pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Nisa Istiani, pakar arbitrase Universitas Al Azhar yang juga peneliti senior pada Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menyatakan, kasus ini akan menjadi sorotan publik karena besarnya nilai potensi kerugian negara.
Untuk itu, tuturnya, sudah seharusnya Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan MA menaruh perhatian besar. Menurut Nisa, sangat riskan jika peradilan yang lebih tinggi tidak membatalkan keputusan PN Jakpus. “Apalagi Mahkamah Agung juga tidak jarang membatalkan kasus serupa [jika memang melanggar UU arbitrase],” kata Nisa.
Keputusan yang dibuat PN Jakpus itu sendiri, menurut Nisa bertentangan dengan UU Nomor 30/1999. Sebab, berdasarkan pasal 3 dan 11 UU arbitrase tersebut, perjanjian arbitrase meniadakan hak para pihak untuk mengajukan gugatan ke pengadilan negeri.
“Pengadilan negeri tidak berwenang dan wajib menolak serta tidak campur tangan atas penyelesaian sengketa seperti itu.”