Bisnis.com, SURABAYA - Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Timur menyoroti maslah laten kesenjangan ekonomi masyarakat di pedesaan, yang ditandai oleh pesatnya pertumbuhan bisnis ritel modern yang berbanding terbalik dengan lesunya geliat pasar rakyat dan toko kelontong.
Sampai dengan 2014, Jatim memiliki 1.402 pasar di desa dengan bangunan permanen, atau turun dari catatan 2.066 pada 2011. Hal itu ditengarai sebagai dampak pemekaran kawasan pedesaan atau keluarahan.
Namun, pertumbuhan minimarket di tingkat desa justru melesat dari 1.448 pada 2011 menjadi 2.034 pada tahun lalu. Toko kelontong turun dari 8.387 menjadi 8.393 pada periode yang sama.
“Di satu sisi ini menunjukkan daya beli masyarakat pedesaan Jatim naik. Tapi, bagaimana dengan toko-toko kelontong yang tadinya didominasi masyarakat dengan modal kecil. Toko kelontong makin collaps, dan ini sinyal berbahaya yang harus dicermati pemerintah,” kata Kepala Bidang Statistik Sosial BPS Jatim Gantjar A. kepada Bisnis, Senin (16/2/2015).
BPS Jatim, sambung Gantjar, menyarankan agar Pemprov Jatim segera membentuk regulasi untuk membatasi pengadaan minimarket maksimal 1 unit untuk 1 desa, sehingga toko-toko kelontong berbasis ekonomi kerakyatan tetap dapat bertumbuh.
Pasalnya, menurut catatan BPS, pertumbuhan minimarket di pedesaan tidak diimbangi oleh serapan tenaga kerja yang besar. Selain itu, rata-rata minimarket yang ada di kawasan pedesaan, modalnya berasal dari orang-orang di luar areal pedesaan tersebut.
“Kami pernah menjumpai di satu kecamatan kecil, minimarketnya ada 24 unit. Pemprov harusnya meneliti, apakah minimarket-minimarket itu milik masyarakat setempat, apakah yang bekerja masyarakat setempat. Jangan-jangan mereka hanya jadi penonton,” jelasnya.