Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Gugatan Golden Spike ke PN Jakpus Bisa Rugikan Negara

Kuasa Hukum PT Pertamina Hulu Energi Raja Tempirai (PHE RT) menilai PT Golden Spike Energy Indonesia (Dalam Pailit) (GSEI) memiliki itikad buruk untuk memperoleh keuntungan dari kerja sama yang dilakukan dengan perseroan.

Bisnis.com, JAKARTA - Kuasa Hukum PT Pertamina Hulu Energi Raja Tempirai (PHE RT) menilai PT Golden Spike Energy Indonesia (Dalam Pailit) (GSEI) memiliki itikad buruk untuk memperoleh keuntungan dari kerja sama yang dilakukan dengan perseroan.

Handarbeni Imam Arioso, senior lawyer dari Adnan Buyung Nasution & Partners Law Firm--kuasa hukum PHE RT, mengatakan hal itu terlihat dari pengajuan gugatan yang seharusnya diajukan ke Arbitrase sesuai dengan perjanjian, tetapi oleh GSEI diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Dia juga menilai klaim ganti rugi kegiatan Sole Risk yang diajukan oleh GSEI tidak berdasar karena pada faktanya kegiatan Sole Risk tersebut tidak pernah terjadi.

“Gugatan GSEI telah diajukan dengan melanggar UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang patut disayangkan gugatan tersebut dikabulkan PN Jakarta Pusat,” kata Handarbeni di Jakarta, Senin (9/2/2015).

Dia mengatakan PHE RT saat ini dalam proses Banding atas Putusan PN Jakarta Pusat yang melanggar UU tersebut. Berdasarkan bukti-bukti yang telah diajukan, dia optimistis majelis hakim Pengadilan Tinggi konsisten dengan UU Arbitrase dan mengabulkan Banding PHE RT.

“Selain itu, dalam persidangan GSEI tidak pernah dapat membuktikan klaim ganti rugi atas kegiatan Sole Risk yang memang tidak pernah terjadi sepanjang masa berlakunya perjanjian antara PHE dengan GSEI," ujarnya.

Periode kegiatan yang diklaim sebagai Sole Risk yang didalilkan GSEI adalah April 1993 hingga Oktober 1999, tetapi sesuai dengan perjanjian PSC masa itu adalah masa eksplorasi dimana GSEI wajib menanggung seluruh biaya operasi.

"Biaya operasi untuk eksplorasi tersebut telah diterima kembali seluruhnya oleh GSEI dari hasil produksi, sehingga GSEI telah beriktikad buruk jika kemudian mengklaim lagi biaya eksplorasi ditambah denda Sole Risk yang jumlah keduanya direkayasa sedekian rupa sehingga seolah-olah GSEI memiliki piutang kepada PHE RT sebesar US$299 juta ditambah kerugian immateriil US$300 juta," Arioso.

Anehnya, gugatan yang seharusnya ditolak tersebut, justru dikabulkan oleh PN Jakarta Pusat walaupun hanya sebagian, yaitu sekitar US$125 juta, yang perhitungannyapun sangat tidak jelas dan tidak berdasar.

"Apabila Gugatan GSEI yang salah forum dan dengan iktikad buruk tersebut terus dikabulkan oleh pengadilan, maka hal tersebut akan sangat merugikan PHE RT yang sekaligus juga akan merugikan negara karena PHE RT adalah anak perusahaan BUMN [Pertamina],” ujarnya.

Anehnya lagi, lanjut Arioso, GSEI mengajukan gugatan ketika perkara PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) terhadap GSEI sedang berjalan dan tanpa persetujuan dari pengurus PKPU pada saat itu. Dengan demikian, kuat dugaan GSEI ingin semata-mata meyakinkan para kreditur GSEI di PKPU, seolah-olah GSEI memiliki piutang kepada PHE RT yang dapat dijadikan sumber untuk pembayaran utangnya.

Sebelumnya, pengacara  dan arbiter senior Frans Hendra Winarta mengatakan persidangan kasus sengketa antara PHE RT dan GSEI yang saat ini berjalan di Tingkat Banding dinilai tidak sah. Pasalnya, peradilan umum tidak berwenang mengadili sengketa yang kontraknya menyebutkan, bahwa jika terjadi dispute, akan diselesaikan melalui arbitrase.

“Jika peradilan umum tetap menjalankan persidangan, maka sudah melanggar Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dengan demikian, jalannya peradilan tersebut tidak sah. Putusannya juga tidak sah, meskipun putusan tersebut sudah ditetapkan,” katanya.

Menurut Frans, peradilan umum memang tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili sengketa perjanjian arbritase.  Oleh karena itu, peradilan umum juga sama sekali tidak punya kewenangan memasuki substansi yang disengketakan.

Satu-satunya hal yang harus dilakukan, pengadilan wajib menolak dan menyatakan tidak berwenang menangani perkara tersebut. Bahkan, hal itu seharusnya sudah dilakukan pada tingkat Pengadilan Negeri.

“Jika terdapat sengketa perjanjian arbitrase, seharusnya dari awal pengadilan negeri menyatakan tidak berwenang menangani sesuai Pasal 11 ayat 2 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : News Editor
Editor :

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper