Bisnis.com, JAKARTA — Budayawan Franz Magnis Suseno menilai negara tidak dapat memaksakan perkawinan dilaksanakan mengacu aturan agama tertentu mengingat Pancasila menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan kepercayaan.
Penilaian itu diungkap oleh Frans Magnis Suseno atau yang akrab disapa Romo Magnis dalam kesaksiannya dalam persidangan uji UU Perkawinan No. 1/1974 Pasal 2 ayat (1) yang diajukan oleh mahasiswa dan alumnus Universitas Indonesia ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Perkawinan yang secara sah diakui oleh agama, dengan demikian juga diakui secara sah oleh negara adalah ketentuan yang tepat dan juga terpuji. Namun demikian, negara tidak berhak untuk memaksakan perkawinan suatu agama tertentu,” katanya seperti dilansir situs resmi MK, Rabu (10/12/2014).
Menurut Romo Magnis, dalam negara Pancasila, negara tidak mengatur agama tapi memberi ruang, lindungan, dorongan, bagi warga negaranya untuk melaksanakan aturan sesuai apa yang diyakini. “Karena itu saya berpendapat perlu ada aturan agar perkawinan dianggap sah dihadapan negara meskipun tidak mengikuti aturan salah satu agama tertentu,” ujar Magnis.
Sementara itu, Kunthi Tri Dewiyanti, saksi ahli lain dari Komnas Perempuan, menilai berlakunya aturan tersebut seringkali menjadikan perempuan sebagai korban. “Wanita yang secara ekonomi atau kedudukan lebih lemah, seringkali harus mengorbankan keyakinan mereka ketika dihdapkan pada situasi perkawinan beda agama,” jelas Kunthi.
Hal itu, paparnya, berdampak pada terjadinya krisis identitas perempuan terhadap agama. Untuk itu, penjelasan mengenai aturan ini harus diinterpretasikan dengan jelas. “Selama bertahun-tahun perkawinan beda agama dibiarkan menjadi hal yang terombang-ambing, sah tetapi tidak diakui, diakui, atau tidak sah dan tidak diakui.”