Bisnis.com, BEIJING -- Rentetan data yang menunjukkan perlemahan terus terjadi pada indikator ekonomi China mengonfirmasi berbagai kekhawatiran analis mengenai ketidakmampuan negara tersebut mencapai target pertumbuhan 7,5% tahun ini.
Ekonom Morgan Stanley, Helen Qiao mengatakan saat ini, situasi ekonomi China merupakan wake up call bagi para pengambil kebijakan. Mendekati akhir tahun, PM Li dinilai tidak lagi memiliki pilihan banyak untuk mengejar target pertumbuhannya.
“Pemerintah telah berupaya keras untuk mengejar target yang tidak akan mungkin tercapai jika mereka tidak mengimplementasikan kebijakan pelonggaran dari sekarang,” kara Qiao di Hong Kong, Senin (15/9).
Setelah tumbuh masif dalam dekade terakhir, faktor internal dan eksternal tidak kunjung mendukung target pertumbuhan Perdana Menteri Li Keqiang. Data terakhir menunjukkan belanja konsumen domestik lemah, lambatnya pemulihan ekonomi global yang berdampak pada turunnya permintaan pun turut mengerek turun produksi industri negara tersebut.
Mengingat sektor manufaktur merupakan stimulator utama perekonomian China, para ekonom menggarisbawahi produksi industri negara tersebut yang tumbuh pada laju paling lambat sejak krisis finansial global. Sejalan dengan data produksi industri, penjualan retail dan investasi tetap hanya tumbuh moderat.
Dalam 2 kesempatan berbeda, Li memang sempat menyampaikan ia tidak lagi mempersoalkan apakah target pertumbuhan tersebut tercapai atai tidak selama negara tersebut mampu menciptakan lapangan kerja dan mengembangkan aktivitas ekonomi yang berorientasi lingkungan.
Ia tampaknya belum berkeinginan untuk mengucurkan stimulus, mengingat stimulus sebelumnya telah melambungkan utang pemerintah. Menurut laporan International Monetary Fund (IMF), utang negara tersebut juga melonjak dari tingginya pinjaman selama 2009-2013.