Bisnis.com,TOKYO – Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe memutuskan untuk melakukan reshuffle kabinet yang dipimpinnya, sebagai bagian dari upaya memicu pertumbuhan negara tersebut.
Abe tampaknya gigih melakukan apapun demi dapat menggenjot pertumbuhan dan menaikkan pajak penjualan pada tahun depan. Dalam kabinet terbarunya, Abe akan memfokuskan kebijakan mengejar target inflasi.
“Kabinet baru ini akan berupaya untuk menciptakan lebih banyak lapangan kerja dan meningkatkan upah,” tambah Abe pascapengumuman kabinet. Menurutnya, tantangan terberat kabinet baru bentukannya yaitu menggairahkan sektor-sektor ekonomi daerah.
Abe menempatkan seorang advokat bernama Yasuhisa Shiozaki yang dikenal berorientasi pada reformasi pasar untuk mengatur lembaga pengelola dana pensiun terbesar dunia, Government Pension Investment Fund.
“Hal terpenting dari perombakan kabinet ini adalah Abe mengajak tokoh yang pro reformasi,” kata ekonom Morgan Stanley MUFG Securities Co, Robert Feldman di Tokyo, Rabu (3/9/2014).
Beberapa menteri baru Abe yaitu Yuko Obuchi sebagai Menteri Ekonomi, Perdagangan, dan Industri, Akiro Eto yang sebelumnya menjabat sebagai Deputi Menteri Pertahanan kini naik menjadi Menteri Pertahanan.
Empat menteri perempuan selain Obuchi yaitu Sanae Takaichi sebagai Menteri Komunikasi, Midori Matsushima sebagai Menteri Hukum, Eriko Yamatani sebagai Menteri Urusan Kriminal, dan Haruko Arimura sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan.
Feldman menyampaikan saat ini Abe menghadapi tantangan berupa lambatnya pemulihan. “Abe harus bergerak lebih cepat untuk mengimplementasikan langkah-langkah seperti reformasi pasar dan tenaga kerja untuk meningkatkan produktivitas,” kata Feldman.
Jika gagal, menurut Feldman, Jepang bisa terjebak menjadi negara dengan pertumbuhan rendah. Saat ini utang publik Jepang merupakan penghambat terbesar kinerja industri negara tersebut.
BUJET NEGARA
Sementara itu, data yang diterima Reuters menunjukkan pemerintah Jepang mengajukan proposal bujet senilai 101,68 triliun yen atau senilai US$967 miliar untuk tahun fiskal mendatang. Adapun bujet negara pada tahun ini adalah 95,88 triliun yen.
Padahal, dalam beberapa tahun terakhir Kementerian Keuangan Jepang telah memangkas triliunan belanja negara. Pengeluaran dalam jumlah besar akan mempersulit Negeri Sakura dalam menekan defisit bujet dan utang pemerintah.
Abe sebelumnya juga menyampaikan ia ingin bujet negara di luar utang surplus pada 2020. Langkah pertama yang tengah ia pertimbangkan yaitu menaikkan pajak penjualan yang telah ia realisasikan April lalu. Akhir tahun ini, Abe akan memutuskan apakah ia akan kembali menaikkan pajak penjualan menjadi 10% dari 8% saat ini.
Saat ini dukungan publik pada Abe berada di tingkat 50%, turun dari 70% pada survei yang sama April lalu. Kini Abe identik dengan isu pajak penjualan yang dinilai masyarakat telah merapuhkan ekonomi negara tersebut.
“Apakah kenaikan pajak kedua kalinya akan berdampak positif bagi pemulihan? Yang jelas, memang ada risiko yang ditimbulkan jika keputusan tersebut ditunda,” kata rekan Abe di Partai Liberal Democratic, Koichi Hagiuda.