Bisnis.com, BANDUNG -- Pemerintah Provinsi Jawa Barat memberikan kesempatan bagi investor asing berinvestasi di sektor perkebunan tembakau.
Hal tersebut merupakan bagian dari komitmen Jabar dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015.
Kepala Dinas Perkebunan Jabar Arief Santosa mengatakan komitmen tersebut tertuang dalam Daftar Negatif Investasi (DNI) yang tertuang pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2014.
"Peluang investasi terbuka bagi usaha perkebunan yang terintegrasi dengan unit pengolahan seperti perkebunan tembakau dan industri daun tembakau kering," kata Arief kepada Bisnis, Senin (11/8/2014).
Namun, menurutnya investasi baru bisa dilakukan setelah mendapat rekomendasi dari Kementerian Pertanian terlebih dahulu.
Arief mengatakan untuk mencapai keseimbangan, sebelum Perpres mengenai investasi sektor tembakau digulirkan, RUU Tembakau yang saat ini berada di DPR akan disahkan terlebih dahulu.
Pihaknya menghindari peluang investasi malah menjadi bumerang bagi petani tembakau lokal, menyusul masuknya tembakau impor lewat akusisi industri rokok nasional oleh asing.
"Jika pengamanan untuk petani belum ada, dipastikan petani lokal akan tergilas oleh teknologi yang lebih baik dan modal yang lebih besar,” tutur Arief.
Sementara itu, kondisi cuaca dengan curah hujan tinggi pada tahun lalu membuat produktivitas tembakau Jawa Barat turun hingga 30%. Dengan kondisi tersebut impor tembakau kian membanjiri pasar dalam negeri.
Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Barat menilai saat ini petani tembakau mengalami kesulitan dalam menggenjot produksi karena lahan yang tidak bertambah.
Selain itu, regulasi pembatasan produksi dalam bentuk peningkatan cukai tembakau telah mengakibatkan penurunan harga tembakau di tingkat petani. Hal tersebut membuat nasib petani tembakau Jabar kian nelangsa.
Sekretaris APTI Jabar Afandi Firman mengatakan tidak ada regulasi yang memayungi petani, padahal jumlah petani tembakau Jabar mencapai 89.000 kepala keluarga.
Menurutnya, konvensi pengendalian tembakau atau yang dikenal Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) pun hanya akan mendorong kenaikan impor tembakau.
"Pemerintah seharusnya jangan hanya fokus pada pembatasan tembakau. Dalam kondisi lahan yang tidak mungkin bertambah, seharusnya mereka juga berpatokan dalam peningkatan produktivitas tembakau," kata Afandi.
Tahun ini harga jual tembakau kasturi yang dihasilkan petani tembakau bervariasi. Afandi mengatakan untuk kualitas bagus atau top grade harga tembakau berada di kisaran Rp45.000/kg.
"Produksi tembakau top grade tahun ini kecil sekali, sementara untuk kualitas yang biasa kisaran harganya Rp27.000/kg," tutur Afandi.
Meski begitu, tahun ini APTI Jabar tetap optimistis target produksi tembakau sebanyak 8.800 ton dengan luas lahan tembakau sekitar 9.618 hektare akan tercapai.
Sementara kebutuhan tembakau nasional tahun ini diperkirakan mencapai 300.000-330.000 ton dengan jumlah impor berkisar 100.000-130.000 ton.
"Kebutuhan tembakau nasional tersebut diserap oleh kebutuhan pabrik rokok yang diperkirakan tahun ini memproduksi sekitar 330 miliar gram batang rokok," ujarnya.
Penasihat APTI Jabar Iyus Supriatna menambahkan ihwal kekhawatiran produksi tembakau yang kian menurun belakangan ini
Kondisi ini dipicu oleh bayang-bayang ratifikasi FCTC yang bisa mematikan petani tembakau di provinsi itu.
Dia mengatakan meski pemerintah belum menandatangani ratifikasi FCTC tetapi hal ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi para petani.
"Pemerintah dari sekarang harus menyiapkan skema penggantian lahan tembakau menjadi lahan yang sama bermanfaat," katanya.
Dia mengatakan jika ratifikasi FCTC jadi ditandatangani maka akan membatasi produksi dengan mengatur musim untuk menanam tembakau, pengurangan area yang diperbolehkan untuk menanam tembakau, dan lainnya.
"Memang pemerintah masih belum menandatangani ratifikasi FCTC hingga 2020, namun perlu strategi yang bijak dilakukan pemerintah untuk tetap menyejahterakan kehidupan petani tembakau," katanya.