Bisnis.com, BRASILIA – Inflasi tinggi dijadikan amunisi oleh lawan politik untuk menyerang Presiden Brasil Dilma Rousseff dalam menghadapi pemilihan presiden pada Oktober tahun ini.
Dilma memang tengah berjuang untuk dapat kembali terpilih pada masa jabatan keduanya. Namun, lawan politik memanfaatkan inflasi tinggi selama pemerintahannya buat mengambil hati para pemilih.
Salah satu calon presiden, Eduardo Campos, mengatakan akan menurunkan inflasi hingga 3% pada tahun depan. Sementara sang pesaing terkuat, Aecio Neves, berjanji memulihkan ekonomi dengan cara mengurangi intervensi negara dan mendorong investasi swasta.
Namun, Rui Falcao, Presiden Partai Pekerja Brasil—partai pendukung Dilma—mengungkapkan lebih baik hidup dengan inflasi yang tinggi ketimbang mengurangi lapangan kerja.
Menurutnya, program yang dijanjikan oleh lawan politik Dilma berpotensi untuk mengurangi lapangan kerja.
“Inflasi memang ada, tetapi Anda memiliki rumah, anak Anda bisa kuliah, dan mereka bekerja,” kata Rui Falcao kepada Reuters, Selasa (29/7) waktu setempat.
Inflasi tahunan Brasil menyentuh angka 6,5%, batas atas kisaran target pemerintah, untuk pertama kali dalam setahun di bulan Juni setelah maskapai penerbangan dan hotel menaikkan harga selama perhelatan Piala Dunia 2014 lalu.
Inflasi memang telah menjadi “hantu” sepanjang pemerintahan Rousseff. Opini publik Brasil mengatakan biaya hidup merupakan masalah utama bagi mereka.
Sementara itu, para analis menambahkan masalah ini bisa menipiskan peluang mantan menteri sekretaris negara itu duduk kembali di kursi presiden.
Namun Falcao menganggap enteng pandangan para analis dan memilih fokus mengkampanyekan program sosial Partai Pekerja sejak berkuasa pada 2002.
Beberapa keberhasilan itu seperti mengangkat lebih dari 30 juta orang Brasil dari jurang kemiskinan, menyediakan rumah murah, beasiswa, dan mengurangi ketimpangan pendapatan sekaligus menjaga penganguran tetap rendah.