Bisnis.com, JAKARTA—Lima perusahaan aspal nasional mengajukan penundaan eksekusi tanah di Banten oleh PT Bank Negara Indonesia Tbk. ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kelima perusahaan tersebut adalah PT Citra Aspalindo Sriwijaya, PT Bumi Aspalindo Aceh, PT Sarana Aspalindo Padang, PT Perintis Aspalindo Curah, dan PT Medan Aspalindo Utama.
Dalam berkas perlawanan Nomor 211/PDT.G/2014/PN.JKT.PST yang diperoleh Bisnis, Selasa (3/6), mereka menyatakan mendapat fasilitas kredit modal kerja dari L/C yang dikeluarkan bank BUMN itu. Jika digabungkan, fasilitas yang mereka dapatkan berjumlah total US$4,23 juta atau setara dengan Rp12,67 miliar ketika dikucurkan.
Sebagai jaminan pembayaran fasilitas tersebut, perusahaan-perusahaan ini menjaminkan dua tanah di daerah Pandeglang, Banten ke BNI. Total luasnya lebih dari 12.000 meter persegi.
Namun, jumlah kredit kelima perusahaan itu membengkak menjadi Rp35,99 miliar saat jatuh tempo. Pasalnya, waktu jatuh tempo bersamaan dengan terjadinya krisis moneter 1997-1998. Sehingga, terdapat selisih kurs yang sangat besar.
Para pelawan menyatakan tetap berupaya melunasi kewajibannya dan membayar bunga senilai Rp22,73 miliar. Kelima perusahaan ini memandang selisih kurs terjadi akibat kelalaian BNI yang tidak menerapkan perlindungan atau hedging. Terhambatnya pembayaran pun disebabkan force majeure, yaitu krisis ekonomi, dan bukan disengaja.
Setelah fasilitas kredit mereka dinyatakan macet pada 14 Maret 2004, kelima perusahaan ini mengklaim terus berusaha melakukan pembayaran. Dana didapatkan dari penjualan aset-aset tidak produktif.
Mereka juga bekerja sama dengan perusahaan lain, PT Pakarti Tirto Agung, untuk mengoptimalkan kinerja dan mendapatkan pemasukan untuk membayar utang. Para pelawan menegaskan beritikad baik membayar utang-utangnya.
Tetapi, Pakarti Tirto ternyata wanprestasi dan hanya membayar Rp15,97 miliar. Perkara ini pun sudah diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada akhir 2013. Isi putusan menyatakan Pakarti Tirto mesti membayar ganti rugi Rp69,55 miliar.
Para pelawan menuturkan perkara dengan Pakarti Tirto belum berkekuatan hukum tetap, padahal berkaitan dengan objek eksekusi. Oleh karena itu, kelima perusahaan ini keberatan dengan permohonan eksekusi atas kedua tanah jaminan yang dilayangkan BNI dan meminta pengadilan menunda atau membatalkannya.
Dalam perkara ini, para pelawan diwakili kuasa hukumnya G. Nyoman T. Rae, Yunico Syahrir, Raka Gani Pissani, Bambang S. Prayitno, Ignasius W. Mudja, Maria Julianti, Aloisius Gago, Suryan, dan Ichwan Salatalohy dari kantor hukum Nyoman Rae & Partners.
Terkait hal ini, kuasa hukum BNI Caesar Aidil Fitri dari SIP Law Firm mengatakan perlawanan ini hanya upaya menunda-nunda penyelesaian utang. “BNI beberapa kali bantu mencari dan mengenalkan investor. Tetapi, tidak jelas hasilnya apa,” tuturnya kepada Bisnis.com, Rabu (4/6/2014).
Menurut Caesar, para pelawan hanya menjual aset yang tidak signifikan padahal banyak aset lain yang dapat menutup utang jika dilego. Dia menambahkan setelah ada surat teguran (aanmaning) dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, kelima perusahaan itu menyatakan bakal membayar kewajibannya.
Tetapi, hal itu tidak terealisasi dan justru muncul perlawanan ini. Adapun surat aanmaning dikeluarkan pengadilan pada 7 Maret, 15 April, dan 6 Mei.
Sidang perdana perkara ini berlangsung Selasa (3/6) dan rencananya bakal kembali digelar Selasa pekan depan.