Bisnis.com, BRUSSELS—Data ekonomi Amerika Serikat dan Eropa akan membantu investor mengambil peluang dari pemulihan ekonomi, tetapi krisis geopolitik di Ukraina justru berisiko merusak pemulihan ekonomi dunia yang tengah terjadi.
Kestabilan harga dan penjualan ritel yang diperkirakan mampu mendongkrak kinerja perekonomian Amerika Serikat. Pada saat yang sama, pemulihan ekonomi Amerika Serikat akan mendukung the Fed untuk melanjutkan exit policy seperti yang telah direncanakan.
Sedikit kontras dengan Amerika Serikat, pemulihan ekonomi yang cenderung moderat mulai terjadi, meski masih dibayangi sejumlah permasalahan, antara lain tingginya angka pengangguran dan inflasi yang melambat.
Tidak hanya itu, investor juga mulai berspekulasi apakah European Central Bank (ECB) akan mengambil langkah yang pernah diambil oleh the Fed yaitu quantitative easing (QE) guna memerangi risiko deflasi di kawasan yang terdiri dari 18 negara tersebut.
Tetapi, upaya separatis yang didalangi oleh pengunjuk rasa pro-Rusia di Ukraina mengancam keamanan dan perdamaian di negeri bekas jajahan Rusia ini, sekaligus berpotensi merusak perdagangan Rusia dengan Eropa.
“Meningkatnya tensi krisis politik di Ukraina akan mengembalikan kondisi ketidakpastian ke ekonomi dunia. kembalinya ketidakpastian pasti akan mengorbankan pertumbuhan,” ungkap Carsten Brzeski, ekonom ING di Brussels, Minggu (11/5/2014).
Selain itu, krisis Ukraina juga akan memberikan efek dramatis terhadap pertumbuhan ekonomi Rusia, memojokkan ekonomi Negeri Beruang Merah itu ke jurang resesi di tengah tingginya eksodus modal ke luar Rusia.
“Akan ada rentetan dampak negatif dari Ukraina ke Amerika Serikat melalui Eropa,” tambah Laura Rosner, ekonom BNP Paribas di New York.
Bahkan, kontribusi ekonomi negara berkembang sebagai penopang laju pertumbuhan ekonomi dunia juga mulai terbatas dengan melambatnya ekonomi China ke level 7,4% pada kuartal I/2014.