Bisnis.com, LONDON—Komitmen European Central Bank (ECB) untuk meredam apresiasi euro yang berlebihan tengah diuji, menyusul euro melonjak hampir ½ sen yaitu US$1,40.
“Bukti lonjakan apresiasi euro tersebut secara psikologis telah membunyikan alarm bahaya pada ECB,” kata Neil Jones, ekonom Mizuho Bank Ltd. di London, Rabu (7/5/2014).
Euro sendiri tercatat menguat menjadi US$1,39 pada Selasa (6/5), menembus level tertinggi selama 2,5 tahun dan menyentuh US$1,39 pada pukul 6.34, Rabu (7/5) di London.
Berdasarkan Indeks Bloomberg Correlation Weighted, mata uang tunggal di 18 negara itu telah menguat hingga 8% dari 9 mata uang negara maju sejak akhir Maret 2013.
"Jika euro mulai menguat lagi, kemungkinan bakal mencapai posisi lebih tinggi, bahkan hingga US$1,45 atau US$1,50,” ucap Neil Mellor, analis valuta asing BNY Mellon.
Nilai euro yang semakin menguat beberapa tahun terakhir memukul eksportir sehingga menyebabkan daya saing ekspor kawasan tersebut menjadi semakin lemah. Sebut saja Royal Philips NV di Amsterdan, perusahaan lampu terbesar di dunia, menyalahkan apresiasi euro memangkas profit pada kuartal I/2014.
Seperti diketahui, apresiasi euro beberapa tahun terakhir didukung oleh pemulihan ekonomi dan kembali mempesonnaya daya tarik zona euro di mata investor. Indeks manufaktur di Spanyol dan Italia, serta penjualan ritel di zona euro bahkan melampui estimasi sejumlah ekonom.