Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Malaysia Arlines Menghilang, Maskapai Rugi Menggunung

Hilangnya pesawat Malaysia Airlines (MAS) sejak Sabtu dinihari (8/3/2014) membuat Chief Executive Officer Ahmad Jauhari Yahya kesulitan menggenjot perusahaan agar tak lagi merugi.
Hilangnya pesawat Malaysia Airlines (MAS) sejak Sabtu dinihari (8/3/2014) membuat Chief Executive Officer Ahmad Jauhari Yahya kesulitan menggenjot perusahaan agar tak lagi merugi. /bisnis.com
Hilangnya pesawat Malaysia Airlines (MAS) sejak Sabtu dinihari (8/3/2014) membuat Chief Executive Officer Ahmad Jauhari Yahya kesulitan menggenjot perusahaan agar tak lagi merugi. /bisnis.com

Bisnis,com, JAKARTA - Hilangnya pesawat Malaysia Airlines (MAS) sejak Sabtu dinihari (8/3/2014) membuat Chief Executive Officer Ahmad Jauhari Yahya kesulitan menggenjot perusahaan agar tak lagi merugi.

Ahmad Jauhari yang ditugaskan memimpin maskapai itu kurang dari tiga tahun yang lalu diharuskan menahkodai agar perusahaan dapat meraup untung.

Mantan veteran industri listrik yang berusia 59 tahun itu telah menyebabkan anjloknya saham MAS di bursa sebesar 63% sejak dirinya bergabung dengan maskapai yang dimiliki oleh pemerintah pada September 2011.

Maskapai BUMN Malaysia itu babak belur dihajar oleh maskapai lain yang menawarkan rute berbiaya rendah (low cost carriers) termasuk AirAsia Bhd (AIRA). MAS menderita kerugian hingga RM4,13 miliar atau setara dengan US$1,3 miliar selama tiga tahun terakhir.

Tim SAR telah melakukan pencarian penerbangan Malaysia Airlines MH370 setelah menghilang dalam perjalanan dari Kuala Lumpur menuju Beijing, China sejak Sabtu kemarin. Ini merupakan kecelakaan kedua dalam enam bulan terakhir.

Pada Oktober lalu, sebuah pesawat Twin Otter DHC6 yang dioperasikan oleh anak usaha MASwings mendarat darurat di Sabah, Kalimantan dan menewaskan dua orang.

Kecelakaan tersebut menjadi tragedi fatal di Malaysia sejak Agustus 2009 menurut catatan sebuah website pelacak statistik keselamatan yang berbasis di Belanda AviationSafetyNetwork.

"Ketika sesuatu seperti ini terjadi, itu tidak membawa pengaruh besar bagi reputasi dan kemampuan mereka untuk bangkit," kata sorang analis di Standard & Poor Shukor Yusof di Singapura, seperti dikutip Bloomberg, Minggu (9/7/2014).

Dia menambahkan peristiwa itu juga menimbulkan aura negatif bagi manajemen dan pemegang saham perusahaan tersebut.

Malaysia Air menekan biaya operasional dengan armada yang lebih banyak, dengan margin yang terkikis pada rute-rute populer. Ahmad Jauhari juga harus bersaing dengan beberapa politisi untuk menyerukan kepada pemerintah Malaysia agar menjual sahamnya di perseroan yang rugi hingga RM1,17 miliar tahun lalu.

Kesuksesan Malakoff

Ahmad Jauhari menghabiskan sekitar 16 tahun pada industri kelistrikan, dimana dia kemudian didapuk menjadi Managing Director di Malakoff Bhd., yang berbasis di Kuala Lumpur. Perusahaan ini menjadi perusahaan swasta terbesar yang bergerak di sektor pembangkit listrik sebelum memutuskan untuk delisting.

Saat dia memutuskan untuk meninggalkan Malakoff pada 2010, dia kemudian bergabung dengan perusahaan produsen listrik yang memiliki lebih dari dua kali lipat laba per saham menjadi 93 sen Ringgit Malaysia dari 40 sen pada 2008.

Jauhari menjadi CEO dari swasta di Premium Renewable Energy Sdn., selama sekitar 6 bulan sebelum bergabung dengan Malaysia Airlines.

Karirnya juga tercatat saat menjalankan tugas di Esso Malaysia Bhd., sebuah perusahaan minyak ritel anak usaha Exxon Mobile Corp., dan group media New Straits Times Press Bhd.

Dari data yang dikumpulkan Bloomberg, sebanyak 14 dari 16 analis yang menyarankan untuk menjual saham MAS. Hanya dua analis yang merekomendasikan untuk menahan sahamnya.

Tantangan ke depan bagi Jauhari termasuk untuk meningkatkan produktifitas pekerja. Disaat yang sama, dia juga harus meyakinkan wisatawan agar tetap menggunakan maskapai yang dipimpinnya bahkan akibat adanya kejadian ini.

Kecelakaan Fatal

Bloomberg mencatat karyawan di Malaysia Airlines kurang produktif bila dibandingkan dengan maskapai penerbangan lainnya. Mereka masing-masing menghasilkan rata-rata US$222.000 per tahun, kurang dari setengah angka dari Singapore Airlines Ltd.

Pekerja di Thai Airways International Pcl., dan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., masing-masing bahkan menghasilkan lebih banyak bagi pendapatan perusahaan.

Maskapai nasional yang didirikan sebagai Malayan Airways Ltd. pada Oktober 1937 itu mengoperasikan sebanyak 96 armada pesawat. Perusahaan berencana untuk memesan sebanyak 100 unit pesawat dan ditargetkan dapat tiba mulai akhir 2016 atau awal 2017.

Kecelakaan terburuk yang pernah dialami oleh maskapai ini terjadi pada 1977 saat 100 orang tewas setelah dilaporkan terjadi pembajakan.

Maskapai ini membutuhkan pesawat jet baru yang hemat bahan bakar untuk menekan biaya operasional ditengah meningkatnya persaingan dari maskapai penerbangan murah.

Maskapai berbiaya murah di Asia Tenggara telah memesan setidaknya 1.000 pesawat baru dalam 5 tahun terakhir untuk rencana ekspansi rute di kawasan yang mulai banyak penumpang seperti Filipina dan Vietnam.

Share Swap

Khasanah Nasional Bhd, sebuah perusahaan investasi milik pemerintah Malaysia, memiliki saham 69,4% dalam maskapai ini. Pada Mei 2012, terjadi tukar guling saham dengan menyerahkan 21% saham dari Malaysia Airlines kepada perusahaan Induk Air Asia.

Maskapai penerbangan Air Asia merupakan maksapai low cost carrier yang dijalankan oleh Tony Fernandes. Perubahan ini dikeluhkan oleh perusahaan terbesar Malaysia Airlines.

Beberapa pihak yang menyerukan agar pemerintah menjual saham Malaysia Airlines adalah mantan Perdana Menteri Mahathir Mohamad yang turut menyaksikan penawaran umum perdana saham (Initial Public Offering/IPO) pada 1985, dan direksi sebelumnya yang telah berhasil mengembalikan keuntungan maskapai ini.

Mantan Managing Director Malaysia Airlines Idris Jala, yang sekarang menjadi menteri dalam kabinet Perdana Menteri Najib Razak, mengatakan pada Agustus mendatang pemerintah tetap harus keluar dari bisnis penerbangan. Idris kembali mengusahakan agar keuntungan dapat terjadi lagi seperti saat triwulanan pada 2006.

Pemilik Swasta

Mahatir Mohamad, pemimpin terlama Malaysia, menyebutkan kepada Kantor Berita Bernama tahun lalu pemilik swasta akan bekerja lebih keras untuk menghindari kerugian yang diderita pemerintah.

Najib mengatakan pemerintah tidak akan menjual sahamnya dan maskapai itu tidak bisa berbalik "hanya dalam satu malam".

Sebelum upaya pengontrolan kembali oleh negara terhadap Malaysia Airlines gagal, pemerintah telah sepakat untuk menyelamatkan maskapai yang memberikan keuntungan pada 2000 dengan membeli kembali saham sebanyak 29% dari pengusaha Tajudin Ramli lebih dari dua kali lipat harga saham maskapai itu.

"Mereka tidak pernah memiliki arus kas yang baik, tetapi mereka memiliki banyak pendukung dari pemerintah dan mereka diberi garis hidup yang tidak adil karena ketika Anda mendapatkan dukungan dari pemerintah itu mendistorsi realitas posisi keuangan Anda," kata Shukor.

Analis Maybank Investment Bank Bhd., Mohsin Aziz mengatakan tahun lalu pemerintah dapat menaikkan miliaran ringgit daftar beberapa unit maskapai yang menghasilkan uang.

Unit yang menguntungkan bagi negara termasuk teknik dan pemeliharaan bisnis, layanan terminal bandara dan layanan maskapai murah ke pedesaan. "Yang tidak menguntungkan adalah maskapai utama unit kargo," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Sukirno
Editor : Fatkhul Maskur
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper