Bisnis.com, JAKARTA—Setelah 10 tahun berkiprah sudah saatnya keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dievaluasi untuk memastikan apakah lembaga itu akan dipertahankan atau dibubarkan akibat berbagai kerancuan dalam sistem perwakilan dalam parlemen Indonesia.
Demikian dikemukakan oleh profesor riset dari LIPI Siti Zuhro dalam diksui bertema “Akuntabilitas Publik Lembaga Tinggi Negara” yang diselenggarakan MPR, Senin (3/3/2014). Selain Siti Zuhro turut menjadi nara sumber pada acara diskusi itu Anggota MPR Jafar Hafsah dan Pakar Psikologi Politik dari Universitas Indonesia Hamdi Moeloek.
Menurut Siti, hingga kini DPD masih belum bisa menghasilkan produk legislasi sehingga muncul pertanyaan akan peran dan fungsi lembaga yang dibiayai negara tersebut. Selain itu, DPD yang diharapkan bisa mewakili daerah dalam konteks sistem Otonomi Daerah juga belum optimal.
“Kalau kita sepakat setelah 10 tahun , DPD belum bisa membuat legislasi dan otonomi daerah belum tentu bisa diwakili DPD, lalu apa gunanya DPD,” ujar Siti menegaskan. Menurutnya peran DPD perlu diluruskan kembali kalau memang harus dipertahankan guna membangun Indonesia.
Siti juga menilai telah terjadi kerancuan sistem parlemen karena DPD dipilih langsung oleh rakyat tapi tidak punya kewenangan legislasi. Karena mereka dipilih langsung maka tidak jarang terjadi mereka lebih memikirkan kepentingan jangka pendek sebagaimana juga terjadi di lembaga DPR.
“Kekeliruan ini pun harus dikoreksi ke depan karena keberadaan DPD tanpa kekuasaan legislasi membebani anggaran negara,” ujar Situ. Bahkan Siti mengkhawatirkan kalau DPD tidak diberi kewenangan legislasi, maka lembaga itu justru akan merongrong kewibawaan lembaga itu sendiri.
Sementara itu, Hamdi Moeloek mengatakan akuntabilitas publik lembaga negara di Indonesia masih sulit untuk diukur. Bahkan survei pun tidak bisa mengukur sejauh mana tingkat akuntabuilitas dari sebuah lembaga negara karena sistem pertanggung jawabannya tidak jelas.
Pada bagian lain dia menegaskan bahwa persoaloan akuntabilitas publik juga sangat erat kaitannya dengan kerancuan dalam sistem bernegara. Pada satu sisi Indonesia menganut sistem Otonomi Daerah, namun pada sisi lainnya kekuasaan daerah melalui perwakilannya di DPD tidak diberikan.
“Seharusnya kita memilih sistem federal atau otonomi daerah sehingga akuntabilitas publik lembaga negara menjadi jelas,” ujarnya.