Bisnis.com, JAKARTA - Beragam kritikan pedas dilontarkan kepada Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo seiring popularitasnya sebagai kandidat calon presiden.
Namun, persoalan banjir, macet, lelang bus Transjakarta, hingga berhembus isu penyadapan rumah dinas ternyata gagal menggoyahkan ranking dukungan Jokowi dari masyarakat.
Dua lembaga survei Jumat akhir pekan lalu merilis elektabilitas berbagai tokoh yang kemungkinan dicalonkan sebagai presiden oleh partai masing-masing.
Lagi-lagi Jokowi tampil sebagai calon pemimpin negara terfavorit, bahkan beragam kritikan dari kanan kiri tak membuat elektabilitasnya turun dari posisi puncak.
Roy Morgan Research melakukan polling terhadap 3.000 responden dari semua lapisan masyarakat di perkotaan sampai pedesaan.
Hasilnya: elektabilitas Jokowi mencapai 39%, jauh di atas Prabowo Subianto 16% dan Aburizal Bakrie 12%. Sementara responden yang belum bisa menyebutkan pilihannya mencapai 11%.
Survei independen atas permintaan Asosiasi Konsultan Politik Asia Pasifik tersebut menyatakan tidak punya keberpihakan dengan siapa pun.
Responden banyak memilih Jokowi karena pekerja keras, ketokohan dan punya gaya menarik. Orang suka dengan gaya kepemimpinan Jokowi sehingga apa pun yang dilakukannya menarik untuk diikuti.
Kandidat pesaing terberat Jokowi adalah Prabowo Subianto.
Dalam dua bulan terakhir, elektabilitas Prabowo naik tajam dari 14% menjadi 16%.
Sebagai kandidat capres terkemuka, Prabowo mendapat dukungan kerja keras mesin politik Gerindra yang mencatat kinerja bagus dari 12% pada Desember 2013 menjadi 14% sebulan setelahnya.
“Gerindra prestasinya bagus sekali. PDIP ada di mana-mana tidak banyak berubah,” ujar Direktur Roy Morgan Research Ira Soekirman.
Roy Morgan juga menyampaikan ada tiga isu politik menarik yang menjadi favorit di tengah masyarakat jelang pemilu tahun ini.
Ketiganya adalah memperbaiki pendidikan, melawan korupsi, dan meningkatkan infrastruktur daerah.
Tiga isu itu sangat dirindukan masyarakat dalam perubahan kehidupan negara ke depan.
Sementara itu, lembaga survei Pusat Data Bersatu rintisan Peter F. Gontha dan Didik J Rachbini juga menempatkan Jokowi di posisi senada.
Hasil survey terhadap 1.200 responden pengguna telepon seluler di perkotaan menempatkan elektabilitas Jokowi 31,8%.
Capaian Jokowi sangat jauh dibandingkan dengan elektabilitas Prabowo Subianto 12,8% serta Dahlan Iskan 5,8%. Sedangkan responden yang belum menyatakan pilihannya mencapai 27%.
Peter mengatakan elektabilitas Jokowi di kisaran 30% sudah mentok alias sulit untuk naik lantaran level tersebut sudah berada pada taraf sangat signifikan jika dibandingkan pesaingnya, Prabowo.
Meski demikian, Jokowi masih bisa mengalami kenaikan asalkan daya dongkraknya kuat, seperti momen Pilkada DKI Jakarta.
“Memang dia kenceng di atas 30% itu karena media, tapi sekarang dikritisi mempertanyakan hasil dari pengatasan kemacetan, beli bus, pasar Tanah Abang,” kata Peter.
Tetapi yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan survei adalah swing vote alias suara mengambang.
PDB mencatat angka swing vote sebesar 27%.
Suara ini bisa menjadi rebutan semua kandidat termasuk Jokowi dan lainnya tergantung bagaimana partai menyikapi.
Hal menarik dari survei PDB ini adalah bahwa responden juga diminta berkomentar soal skenario pasangan capres dan cawapres 2014-2019.
Jokowi dipasangkan dengan beberapa tokoh tetap populer meskipun harus berhadapan dengan Prabowo Subianto yang dipasangkan dengan Hatta Radjasa.
Elektabilitas pasangan Jokowi – Jusuf Kalla terpopuler mencapai 22,3% jauh melebihi Prabowo Subianto–Hatta Radjasa 10,2%.
Adapun jika PDIP memasangkan Megawati-Jusuf Kalla elektabilitasnya cuma 8,1%, begitu juga dengan Jokowi-Hatta Radjasa 6,8%, Dahlan Iskan-Chairul Tanjung 5,7%.
Jokowi-Puan Maharani 4,9%, Aburizal Bakrie-Mahfud MD 2,8% dan belum menjawab 24,8% dan lainnya 14,5%.
Sementara itu, politikus Partai NasDem Ferry Mursyidan Baldan mengkritisi banyaknya lembaga survei yang bekerja jelang pemilu.
Menurut Ferry, hal itu justru memojokkan masyarakat sehingga perlu ada semacam dewan etik antarlembaga survei.
Pasalnya, ujar Ferry, politik modern salah satu pertimbangannya adalah survei.
“Lembaga survei tidak boleh sembarangan atas nama metodologi, harus dipertanggungjawabkan,” katanya.