Bisnis.com, JAKARTA—Himpunan Pengusaha Jasa Tenaga Kerja Indonesia mendesak pemerintah merealisasikan minimum pelatihan untuk calon tenaga kerja Indonesia (TKI) ke Arab Saudi menjadi 400 jam menyusul rencana pembukaan kembali pengerahan tenaga kerja ke wilayah tersebut.
Ketua umum Himpunan Pengusaha Jasa Tenaga Kerja Indonesia (Himsataki) Ali Ridho mengatakan jumlah minimum jam pelatihan tersebut harus ditambah menjadi 400 jam dari sebelumnya 200 jam untuk meminimalisasi risiko masalah yang dihadapi TKI saat berada di negara penempatan.
Saat ini, pelatihan kerja sebanyak 200 jam atau setara dengan 21 hari kepada calon TKI tersebut untuk mempelajari budaya, bahasa dan berbagai macam cara menata rumah tangga.
Namun demikian, jumlah jam pelatihan itu tidak akan cukup untuk calon TKI yang rata-rata masih berpendidikan rendah.
“Untuk itu, pemerintah harus meng-upgrade jumlah jam pelatihan sebgai syarat pengiriman ke Arab saudi meski persiapan keberangkatan calon TKI menjadi relatif lebih lama,” katanya, Minggu (5/1/2014).
Salah satu kasus kekerasan yang menimpa TKI di Arab Saudi akibat mereka tidak tidak tahu cara mencuci dan menyeterika baju mahal.
Masalah TKI yang dikirim ke Arab Saudi sebagai penatalaksana rumah tangga (PLRT) yang saat ini muncul, lanjutnya, lebih banyak didominasi faktor minimnya pelatihan yang diberikan oleh pengusaha sebagai pemilik perusahaan pengerah yang diawasi pemerintah.
“Majikan tidak akan menoleransi kesalahan dari tenaga kerja karena biaya yang dikeluarkan relatif mahal untuk mendatangkan 1 TKI. Kira-kira setara dengan Rp50 juta.”
Dengan meningkatnya jumlah jam pelatihan, jelasnya, akan berdampak signifikan terhadap kualitas dan gaji yang TKI terima. Saat ini, paparnya, upah TKI asal Indonesia di Arab Saudi masih lebih murah jika dibandingkan dengan TKI asal Filipina.
“Selain pasar kerja, kualitas akan menentukan upah yang akan diterima oleh seorang TKI,” katanya.