DEPOK - Sastrawan dan penggiat teater di Komunitas Salihara, Sitok Sunarto alias Sitok Srengenge (48) diadukan ke Polda Metro Jakarta lantaran menghamili salah satu mahasiswi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia berinisial RW (22).
Sitok dilaporkan ke pihak berwajib dengan nomor pengaduan TBL/4245/XI/2013/PMJ/Dit Reskrimum karena enggan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sitok dikenakan pasal 335 KUHP dengan delik aduan perbuatan tidak menyenangkan.
Paulus Irawan, Kuasa Hukum sekaligus juru bicara keluarga korban, mengatakan kasus ini sarat dengan upaya yang sudah direncanakan oleh sang pelaku untuk menjerat korbannya secara sistematis dan masif.
“Dia malah menjual profesi kesenimanannya dengan sangat murah, memikat, memaksa korban secara psikis terus menghamilinya tanpa sikap tanggung jawab. Bahkan seolah tidak tersentuh tindakan hukum dan aparatnya. Sungguh sikap ini melecehkan kaum perempuan,” katanya sebagaimana rilis yang diterima Bisnis, hari ini (30/11/2013).
Paulus menambahkan, perbuatan Sitok selain melanggar hukum maupun moral juga mencoreng citra dunia kesenian Indonesia. Sitok Srengenge seharusnya memiliki sikap yang berbudaya karena dirinya memakai atribut atau berprofesi sebagai seorang seniman. Namun, Sitok justru dalam tindakannya melukai nilai moral kebudayaan Indonesia itu sendiri. Hal itu diperparah dengan usia Sitok dan RW yang terpaut jauh.
“Sangat tidak pantas, di mana sebetulnya korban layak diposisikan sebagai anaknya".
Lili Tjahjandari, dosen korban mengatakan perbuatan Sitok sudah merugikan mahasiswanya, tak terkecuali civitas akademika UI. Menurut Lili, mahasiswanya secara jelas menanggung beban secara psikis atas perbuatan Sitok tersebut.
“Kami mendukung apabila ini diproses lebih lanjut, UI merasa jika yang dilakukan itu tidak baik dan (Sitok) wajib bertanggung jawab secara hukum".
Saraswati Dewi, dosen FIB UI mengatakan korban RW mendapat dukungan penuh dari civitas akademika yang ada di kampus. Ia menekankan bahwa laporan ini tidak saja mencari keadilan untuk korban, melainkan sebagai upaya memutus perbuatan tidak menyenangkan yang merugikan perempuan.
“Perbuatan yang tidak menyenangkan, mengorbankan anak gadis atau perempuan seperti ini harus dihentikan dan keadilan harus diperjuangkan, pada dasarnya kami tidak ingin sampai ada korban selanjutnya".
Sarasdewi menuturkan bahwa sudah enam bulan RW dengan sepengetahuan keluarganya mencari perhatian Sitok, namun tidak ada respon pertanggungjawaban. Sebab itu, kemudian dengan cara yang sudah putus asa kawan-kawan RW yang peduli dengan kasus ini memohon kepada pihak kampus mengadvokasi. Selain pihak kampus, kawan-kawan RW juga sudah meminta bantuan pada Komnas Perempuan dan Yayasan Pulih yang secara khusus menangani korban untuk pelecehan seksual.
“Awalnya tidak ada yang menggubris dengan masalah ini karena korban menutup diri atau depresi ketika hamil,”kata Sarasdewi.
Sarasdewi menuturkan, selama enam bulan sebenarnya Sitok sudah diberikan waktu untuk berdialog. Dan perlu ditekankan, pihak RW sendiri sudah berusaha menghubungi Sitok untuk mempertanggungjawaban perbuatannya. Namun, ketika itu tidak ada itikad baik dari Sitok. Ketika masalah ini sudah mendapat perhatian banyak orang, terutama kalangan seniman, Sitok mulai menghubunginya karena Sarasdewi sudah banyak berbicara dengan beberapa pihak.
“Dia (Sitok) mengaku dengan saya, korban (RW) tidak melakukan pendekatan dan dia (Sitok) mengaku salah. Ia mengaku mendekati korban. Perlu dicatat sama sekali korban tidak mendekati Sitok Srengenge dan dia mengaku salah. Saya akan bersaksi (pada polisi) sesuai dengan pembicaraan awal November itu (dengan Sitok),”pungkasnya.
Lifany Husnul Kurnia
Research Assistant
Department of Research and Community Services FIB Universitas Indonesia