BANGKOK— Perdana Menteri Thailand Yingluck Shinawatra berhasil melalui mosi tidak percaya (no-confidence vote) di parlemen pada Kamis (28/11/2013), di tengah kerancuan terkait tujuan protes antipemerintah yang merambat ke kantor pemerintah.
Protes anti-pemerintah telah berlangsung sejak bulan lalu, setelah Partai Puea Thai mencoba meloloskan beleid amnesti yang dikhawatirkan dapat membebaskan saudara laki-laki Yingluck—mantan PM Thaksin— dari tuduhan korupsi pada 2008.
Meski beleid tersebut telah dibatalkan, lawan politik Thaksin yang terkait dengan elite militer dan royalis sipil kini mencoba untuk melengserkan Yingluck. Pada Kamis (28/11/2013), pengunjuk rasa di laporkan memutuskan sambungan listrik di markas besar ke polisian dan rumah sakit polisi di dekatnya.
Sebelumnya, Yingluck meminta para pengunjuk rasa mengakhiri aksi mereka dan memasuki negosiasi untuk menghindari konfrontasi. Dia mendesak lawan
politiknya untuk menyepakati panel bersama guna mencari cara untuk mengakhiri krisis.
“Pemerintah tidak ingin memasuki permainan politis apa pun, karena kami percaya hal itu hanya akan menghancurkan perekonomian,” kata Yingluck.
Kemenangan mosi tidak percaya Yingluck bukanlah sebuah kejutan besar, karena partainya mendominasi mayoritas parlemen. Namun, hal itu tidak menjamin akhir dari ketegangan dan protes antipemerintah terbesar dalam 3 tahun terakhir itu.
Yingluck membutuhkan lebih dari separuh—atau 246 suara— dari total 492 anggota Majelis Rendah untuk memenangkan mosi itu. Dia menang dengan total dukungan suara 297, melawan 134.
Partai Puea Thai dan koalisinya telah menghadapi perdebatan selama 3 hari, yang mana kaum oposisi dari Partai Demokrat menyerang proyek manajemen perairan senilai US$100 juta yang dicetuskan Yingluck dan mengkritik skema intervensi beras yang tidak beres secara keuangan.
Para pengunjuk rasa juga menuduh Yingluck telah menjadi mata-mata secara bagi Thaksin, yang dianggap sebagai pahlawan populis bagi warga miskin pedesaan dan digulingkan dalam kudeta militer 2006.
RISIKO EKONOMI
Gejolak politik itu mengancam perekonomian Negeri Gajah Putih yang sebenarnya hampir pulih dari resesi tersebut. Akibatnya, perekonomian senilai US$366 miliar dari negara itu terpaksa kehilangan momentum.
Pemerintah melaporkan produksi pabrik pada Oktober menyusut untuk bulan ke-7 berturut-turut dan anjlok lebih dari perkiraan para ekonom. Hal itu menandakan perlambatan yang memaksa bank sentral untuk menaikkan suku bunga secara mendadak pada Rabu (27/11/2013).
Di lain pihak, para pengunjuk rasa bersikeras menutup pemerintahan, dengan menduduki kantor Kementerian Keuangan sejak Senin. Namun, mereka gagal menduduki kantor lain, dan memilih untuk berkumpul di depan gerbang sehingga staf Ke menkeu setempat terpaksa dievakuasi.
Sekitar 700 tambahan demonstran tiba pada Kamis di kantor Kementerian Pertahanan, yang terletak di seberang Grand Palace atau pusat pariwisata Thailand. Sementara itu, 300 lainnya memblokade Kementerian Pendidik an.
Protes sejenis itu telah menjadi lazim di Thailand, yang telah menghadapi gejolak serupa se lama 8 tahun terakhir mulai dari blokade jalan hingga intervensi militer. Rangkaian tersebut kerap kali terkait pada persoalan seputar Thaksin.