Bisnis.com, SINGAPURA – Jalanan di Singapura berusaha menyinergikan keberadaannya dengan lonjakan populasi yang melebihi 1,1 juta sejak pertengahan 2004 menjadi 5,3 juta.
Sistem transportasi Singapura yang dibuat 1996 telah merencanakan pembangunan infrastruktur untuk menunjang populasi yang mencapai 4 juta pada 2030.
Laporan pemerintah memaparkan populasi penduduk Singapura tahun ini kurang dari sepertiga penduduk Luxemburg, yang berpotensi tumbuh menjadi 6,9 juta.
“Ini adalah permasalahan yang terakumulasi dari tahun ke tahun, investasi infrastruktur tidak memenuhi permintaan yang ada. Dengan kemacetan yang terus terjadi, waktu akan terbuang dan itu bernilai uang,” Irvin Seah, ekonom senior DBS Group Holdings Ltd. di Singapura.
Pemerintah Singapura telah menghabiskan 60 miliar dolar Singapura ($48 miliar) untuk membangun jalur kereta api bawah tanah, sedikitnya 12 juta dolar Singapura pada bis, dan jalan tol untuk mengatasi kemacetan.
Sementara itu, proyek tersebut direncanakan selesai pada 17 tahun mendatang, kemacetan akan mencederai image Singapura di mata dunia.
Menurut IMD World Competitive Ranking, Singapura turun ke peringkat 15 pada 2013 yang sempat bertengger di peringkat atas pada 2010. Penurunan peringkat tersebut menandakan lemahnya infrastruktur dasar dan turunnya produktifitas dan efisiensi bisnis.
Berdasarkan survei Frost & Sullivan pada 2011, Singapura tercatat berada di bawah Kuala Lumpur dan New Delhi jika dilihat dari tingkat kecepatan, biaya perjalanan, dan kenyamanan.
Pemerintah telah menjalankan kebijakan untuk membatasi kenaikan pendaftaran lisensi mobil baru menjadi 0,5% dari 3% per tahun antara 1990 dan 2008. Lisensi mobil baru di Singapura meningkat 35% dari 2011 hingga 2011.
Simon Yeo konsultan pengembangan bisnis bahkan harus bangun pukul 6 pagi, 2 jam lebih awal untuk menghindari kemacetan. “Saya kehilangan banyak waktu tidur tapi itu tidak seberapa jika dibandingkan terjebak di kemacetan,” katanya. (Bloomberg)