Bisnis.com, Jakarta - Persiapan menyambut hari raya Idul Fitri tidak cukup hanya dengan kesiapan material dan spiritual. Keadaan psikologis pun perlu disiapkan.
Bagi eksekutif yang turut merayakan Idul Fitri, mereka dihadapkan dengan beberapa persoalan yang membelenggu.
Mira D Amir, psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia mengatakan keributan atau hectic menyambut Idul Fitri bagi para eksekutif dirasakan ketika mereka ditinggal pembantu mudik ke kampung halaman. Hidup mereka dalam urusan di dalam rumah sudah terbiasa digantungkan kepada para pembantu rumah tangga.
Status-status jejaring sosial para eksekutif yang ditujukan kepada para pembantu “kapankah dirimu kembali” sering sliweran di sosial media.
“Sebenarnya hectic menjelang Idul Fitri dikelompokkan menjadi dua macam, kepanikan akan benda bernyawa dan kepanikan mekanisme rumah tangga,” ujar Mira kepada Bisnis, Jumat (2/8/2013).
Kepanikan pada benda bernyawa maksudnya adalah ketika para eksekutif berumah tangga dan memiliki seorang anak bayi atau balita. Pengurusan harian si anak yang biasanya dipasrahkan seorang pembantu atau baby sitter dikala orang tua sibuk bekerja akan menjadi tantangan sendiri bagi para eksekutif.
Penyesuaian anak terhadap pengasuh merupakan hal yang tidak mudah. Jikalau orang tua memiliki dana untuk mencari pengasuh pengganti sementara, anak belum tentu mau. Di sini peran orang tua untuk terjun langsung mengurus anak yang memang menyedot waktu dan tenaga ekstra.
Orang tua harus menyadari esok anak akan tumbuh dan berkembang. Jangan perlakukan anak seperti raja kecil yang biasanya menyuruh pengasuh untuk melakukan ini itu. Dengan tidak adanya pembantu menjelang Idul Fitri, gunakan moment untuk melatih anak ikut berperan dalam menyiapkan lebaran. Dari sini si anak belajar tanggung jawab baru dan berlatih mandiri.
Kepanikan yang kedua menjelang Idul Fitri adalah mekanisme kerja di dalam rumah yang melulu dikerjakan oleh pembantu. Pembantu kebanyakan izin mudik H-7 atau H-5 Lebaran. Para eksekutif harus bekerja sendiri di dalam rumah selama puasa seperti menyiapkan sahur sendiri, beres-beres rumah, mempersiapkan malam takbiran dan silaturahmi idul fitri.
“Semua itu harus dilaksanakan sendiri tanpa ada pembantu, dan disitulah tensi meningkat karena lelah dari pekerjaan di kantor dan kurang tidur sehingga emosi bisa meledak sewaktu-waktu,” katanya.
Ada hal-hal yang harus dilakukan untuk rumah tangga para eksekutif dalam menyiasati kepanikan. Seperti mempersiapkan makanan cepat saji selama pembantu mudik agar suami dan istri tidak kaget dalam memulai sesuatu yang terkadang merepotkan.
Kedua adalah serah terima barang sebelum pembantu mudik, yaitu mempersiapkan barang-barang yang dikelola pembantu baik barang dapur sampai keperluan anak untuk dilimpahkan kepada majikan.
Terpenting yang harus dilakukan adalah komunikasi yang terstruktur dan rapi oleh pasangan suami istri. Saling terbuka dan menerima keluh kesah pasangan. Jika ada konflik harus segera dievaluasi dengan tidak menyalahkan pihak lain.
Jangan sekali-kali mencari pihak yang salah dan menyalahkan dengan kalimat destruktif atau menjatuhkan, katanya, karena hal tersebut mengakibatkan trauma kekacauan mempersiapkan lebaran di tahun-tahun berikutnya.
Hendaknya suami dan istri saling bekerjasama dalam hal pembagian tugas selama pembantu tidak ada di rumah. Dan pembagian tugas tidak terikat stereotype. Misalnya suami yang memasak dan istri beres-beres rumah.
Jika diantara suami-istri memiliki manejemen yang apik dalam mengatur rumah tangganya sendiri, mereka akan mampu menilai kualitas diri sendiri, pasangan dan anak tanpa adanya pihak ketiga yaitu pembantu.