Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

OBITUARI TAUFIQ KIEMAS: Pelobi Ulung Itu Berpulang

BISNIS.COM, JAKARTA -- Taufiq Kiemas dikenal sebagai satu dari sedikit tokoh politik yang memiliki kemampuan lobi luar biasa. Seringkali, di tengah ketegangan dan kemandekan politik, dia mampu mencairkan suasana dan mencarikan solusi terbaik.

BISNIS.COM, JAKARTA -- Taufiq Kiemas dikenal sebagai satu dari sedikit tokoh politik yang memiliki kemampuan lobi luar biasa. Seringkali, di tengah ketegangan dan kemandekan politik, dia mampu mencairkan suasana dan mencarikan solusi terbaik.

Sebagai politisi senior PDI Perjuangan sekaligus suami Megawati Soekarnoputri, Taufiq yang akrab disapa TK kerap menciptakan terobosan politik dalam situasi kritikal. Kepiawaiannya bergaul acapkali membuahkan moderasi politik.

Pertama, saat momen kritis pelengseran Presiden Abdurrahman Wahid pada 23 Juli 2001. Tak pelak, kala itu  muncul ketegangan luar biasa akibat Sidang Istimewa MPR yang mencabut mandat kepresidenan Gur Dur, dan sekaligus  menjadikan wakilnya, Megawati,  sebagai suksesor kepresidenan.

Bagi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan keluarga besar Gus Dur saat itu, peristiwa tersebut mengesankan ada nuansa pengkhianatan politik dari PDIP, terkhusus keluarga Mega. Namun, dengan telaten, TK melobi keluarga Gus Dur dan tetap menunjukkan hormatnya. Alhasil, seiring waktu, Gus Dur dan Mega akur lagi melalui serial silaturahmi.

Belakangan, seperti diakui Yenny Wahid—anak Gus Dur—hubungan keluarga Mega dan Gus Dur sudah membaik, dan peristiwa politik masa lalu tak menjadi ganjalan lagi. Yenny juga mengakui peran penting TK dalam mencairkan kembali hubungan dua keluarga itu.

Kedua, ketika mantan Menko Polkam di masa Presiden Mega, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), terpilih menjadi presiden dalam pilpres langsung pertama pada 2004 dengan mengalahkan pasangan Mega-Hasyim Muzadi di putaran kedua, TK melihat itu lebih sebagai realitas politik. Dan ketika kemenangan SBY itu berulang pada Pilpres 2009, TK justru tampak akrab dengan SBY.

Alhasil, dengan dukungan penuh dari Fraksi Partai Demokrat MPR—tentu saja atas persetujuan SBY—TK mulus terpilih sebagai Ketua MPR. Bahkan, dalam rentang waktu itu, TK aktif mewacanakan peluang dan kemungkinan PDIP memasukkan kadernya di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II, kendati hingga kini tak terealisasi karena konon Mega tidak pernah sepakat dengan ide tersebut.


Moderasi

Harus diakui, gaya berpolitik TK mengesankan perilaku politik pragmatis. TK seolah menerapkan falsafah apa yang masih bisa dinegosiasikan bahkan dengan lawan politik sekalipun, itu bukan sesuatu yang haram untuk ditempuh. 

Tentu saja hal itu seperti berlawanan secara diametral dengan Mega yang tampak teguh dalam prinsip dan pilihan politik. Pilihan Mega agar PDIP mengambil sikap oposisi di masa kepresidenan SBY sampai saat ini tak tergoyahkan, kendati TK beberapa kali kelihatan mencoba melunakkan pilihan itu. 

Di PDIP, kemampuan TK dalam lobi dan memoderasi ketegangan atau kebuntuan politik hampir tak ada duanya. TK dengan mudah diterima berbagai kalangan, entah lintas partai maupun ideologi.

Aneka sekat sosial dan kultural begitu gampang ditembusnya. Meski PDIP mengesankan dan dikesankan sebagai partai nasionalis, TK  begitu akrab dengan tokoh politik dan ormas Islam.

Barangkali itu terkait dengan latar belakang sosialnya. Lahir pada 31 Desember 1942 di Jakarta dari pasangan Tjik Agus Kiemas dan Hamzathoen Roesyda, TK besar di Palembang dan pada 1960-an menjadi Ketua Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)—ormas mahasiswa yang dikenal sebagai pendukung Presiden Soekarno—di kota itu. Ayah TK sendiri tokoh Masyumi, partai Islam arus utama di masa itu. 

Satu hal, sejak menjadi Ketua MPR, TK teguh dan konsisten memperjuangkan pentingnya menjaga 4 pilar kebangsaan—Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.

Dalam soal pentingnya menjaga dan merawat kemajemukan bangsa, bagi sosok bergelar Datuk Basa Batuah itu,  hal tersebut seperti harga mati. Keteguhannya dalam soal itu seperti Gus Dur.

Tentu saja, kepergian TK merupakan kehilangan besar bagi PDIP, sekaligus menyisakan tanda tanya ihwal kekosongan peran sparring partner bagi Mega, terutama dalam menghadapi perhelatan politik 2014.

Bagi bangsa ini, kepergian TK merupakan kehilangan besar tokoh bangsa, yang sedikit-banyak telah mampu mentransformasikan dirinya sebagai negarawan. Selamat jalan Pak TK…   



 

 









Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Tomy Sasangka
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper