JAKARTA--Data Lembaga Survei Indonesia menyebutkan hanya 25%-30% penduduk Indonesia yang peduli pemilihan umum. Dari jumlah itu hanya 12% yang menjadi anggota partai.
Burhanuddin Muhtadi, peneliti di Lembaga Survei Indonesia, menilai rendahnya keterikatan warga terhadap partai menyebabkan dukungan politik bisa mudah berubah.
Kondisi itu tercermin dari kemenangan PDI Perjuangan pada 1999, tetapi tidak berlanjut pada 2004. Bahkan, pada 2004 Golkar unggul, tidak bertahan pada 2009 dan posisinya digantikan Demokrat.
Ketidakpastian preferensi pemilih itu diprediksi akan berlanjut 2014. Bahkan dengan hanya ada 10 peserta pemilu maka fragmentasi politik semakin tajam.
"Ilustrasinya, untuk mencapai 3,5% [ambang batas parlemen] akan mudah, 100% [suara pemilih] hanya dibagi 10," ungkapnya, Kamis (21/2).
Akibatnya, lanjut dia, tidak akan banyak parpol yang bisa mengusung calon presiden. Kalaupun saat ini keterpilihan Golkar mencapai 20% dan bertahan hingga 2014 maka perolehan itu jauh dari mayoritas sehingga bisa mengusung presiden sendiri.
"Maka paling banyak pasangan calon presiden empat. Tapi kemungkinan tiga," urai Burhanuddin. Nah, kondisi itu menyebabkan tak banyak calon presiden alternatif yang bisa memicu golongan putih--pemilih yang tak menggunakan haknya.
Di sisi lain, koalisi menyebabkan kabinet terbentuk akan tersandera kepentingan. "Kegaduhan permanen di legislatif terus terjadi. Polanya akibat tidak ada partai mayoritas," tegasnya.
Sementara soal calon presiden, Burhanuddin menguraikan Joko Widodo dan Megawati memang memiliki tingkat keterkenalan hingga 80%. Namun, tingkat keterpilihan Joko Widodo hanya 21%, demikian halnya Megawati.
"Tidak ada calon yang menonjol, Jokowi tak dominan. Masih lemah basis fondasinya," tambahnya.
Sementara calon yang disebut-sebut berkualitas seperti Anies Baswedan dan Gita Wirjawan tingkat keterkenalannya hanya 7% sampai 8%.
Kondisi itu menurut Burhanuddin mengharuskan calon mendongkrak keterkenalan agar keterpilihannya meningkat. "Pemilihan elektoral tergantung statistik, tetapi matematika bisa diubah bila mau bekerja," tambahnya.
Politikus Golkar Jusuf Kalla menilai guna mendongkrak keterpilihan maka calon harus bagus. "Harus menarik, pilihan harus bagus," jelasnya.
Kalla menilai calon presiden yang diusung partainya, Aburizal Bakrie, belum memiliki tingkat keterpilihan mayoritas. "Kalau Golkar band, ya penyanyinya harus latihan terus," ujarnya.
Ketua Dewan Pertimbangan Nasdem Jenderal (Purn) Endriartono Sutarto, mengaku jajarannya sedang berusaha mendongkrak suara. Saat ini survei menyebut keterpilihan partainya hanya 4,5%.
"Fokus menang dulu, pemenang pertama 20% sudah bisa mengusung sendiri. Kalau paling jelek belasan persen bisa adu daya tawar, tapi kalau nomor tiga di bawah 10% tak usah mencalonkan [presiden]," tegasnya. (bas)