JAKARTA: Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) memetakan sedikitnya masing-masing empat faktor penyebab konflik agraria di sektor perkebunan dan kehutanan. Di antaranya adalah pemberian izin lokasi oleh pemerintah dan penetapan kawasan hutan secara sepihak oleh Kementerian Kehutanan.
Dalam laporan akhir tahun, KPA menyebutkan penyebab konflik lahan di sektor perkebunan adalah pengelolaan lahan BUMN di wilayah perkebunan warisan kolonial yang banyak terdapat di Jawa, Sumatra Utara, Sumatra Selatan dan Lampung. Padahal, lahan-lahan tersebut sebelumnya dirampas melalui perampasan dan tak pernah dikembalikan kepada masyarakat.
Selain itu, konflik juga terjadi karena pemberian izin lokasi dan izin prinsip yang berada di atas tanah-tanah masyarakat. "Dalam proses ini, ganti kerugian yang diberikan penuh dengan manipulasi baik terkait nilai tanah, penerima ganti rugi dan ukuran tanah," demikian tulis KPA yang dikutip Selasa (01/01/13) di Jakarta.
Masalah lainnya adalah kemitraan dengan pola inti plasma, namun seringkali tanah-tanah milik masyarakat dimasukkan dalam sertifikat Hak Guna Usaha perusahaan. Faktor terakhir, adalah pemotongan tidak wajar oleh perusahaan kepada petani plasma dan koperasi yang dibuat perusahaan atas nama warga.
Di sektor kehutanan, KPA memetakan penyebab konflik agraria adalah penunjukan sepihak kawasan hutan oleh Kementerian Kehutanan untuk kemudian ditetapkan batas pemetaan dan penetapan kawasan. Saat ini, sambung KPA, pemerintah telah menunjuk secara sepihak luas kawasan hutan yakni 136,94 juta hektar atau 69% wilayah Indonesia.
"Masalah besar lain akibat belum finalnya status kawasan hutan adalah 30.000 desa definitif berada di kawasan hutan. Dengan status berada di dalam kawasan hutan, maka setiap hari penduduk ini rawan mengalami kriminalisasi, intimidasi,dan penggusuran paksa," demikian laporan tersebut.
KPA menuturkan selain kawasan hutan yang belum ditetapkan, konflik juga tejadi pada kawasan yang telah ditetapkan macam industri kehutanan. Organisasi itu mencontohkan kasus Perhutani yang beroperasi di Jawa, yakni menggunakan peta yang berbeda dengan yang dimiliki oleh pemerintah desa.
Persoalan selanjutnya, kata KPA, adalah tidak adanya kehendak yang kuat dari pemerintah untuk menyerahkan pengelolaan hutan kepada masyarakat. Padahal, secara turun-temurun masyarakat adat telah lama memiliki dan menguasai kawasan hutan Indonesia dengan prinsip kelestarian lingkungan. (spr)