JAKARTA: Greenpeace dan Forest Watch Indonesia (FWI) menemukan masih banyak tumpang-tindih lahan antara area konsesi dengan area moratorium yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah dinilai belum menangani masalah tersebut secara tuntas.
Yuyun Indradi, Juru Kampanye Hutan Asia Tenggara Greenpeace, mengatakan beberapa temuan dari hasil peninjauan kedua organisasi itu adalah masih adanya tumpang tindih antara konsesi dan area moratorium, bahkan angka tumpang tindihnya semakin meningkat. Dia memaparkan hal itu dapat disimpulkan bahwa pemerintah belum menangani tumpang tindih secara tuntas.
"Menyikapi kemajuan yang lambat dan dalam upaya untuk melindungi hutan Indonesia, Greenpeace mengajukan beberapa rekomendasi-rekomendasi kunci termasuk di antaranya kerjasama pemerintah dengan masyarakat lokal. Masyarakat secara aktif dapat turut memantau pelaksanaan moratorium di lapangan," kata Yuyun dalam siaran pers yang dikutip hari ini, Minggu (16/12/2012).
Dia memaparkan hal-hal yang menghambat kemajuan dan perlu diperbaiki di antaranya adalah tata kelola pemerintah yang lemah. Hal itu mencakup peta dan data yang kurang transparan dari pemerintah, termasuk perubahan status dan fungsi (dari hutan konservasi menjadi hutan produksi atau sebaliknya), kurangnya perlindungan sosial dan lingkungan yang jelas serta definisi lahan terdegradasi.
Kemajuan REDD+ di Indonesia, kata Yuyun, baru dapat direalisasikan saat peta tutupan lahan dan tata guna lahan yang kredibel serta berkekuatan hukum, sudah tersedia serta secara jelas untuk mengidentifikasi lahan. Hal itu termasuk lahan yang terdegradasi, zona pembangunan ekonomi, kawasan konservasi, hak tanah masyarakat adat, hutan, konsesi pertanian dan pertambangan dalam cara yang konsisten.
"Oleh karena itu tuntutan kami kepada pemerintah adalah moratorium berbasis capaian tidak dibatasi waktu, penatabatasan kawasan hutan secara utuh serta memasukkan semua lahan gambut dan hutan sekunder sebagai obyek moratorium," katanya.
Pada November lalu, Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPIB) telah dimutakhirkan untuk kali ketiga terkait dengan sejumlah faktor di antaranya adalah hasil validasi data izin pemanfaatan hutan dan lahan yang masih dalam proses pendaftaran pada Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Ketua Kelompok Kerja Monitoring Moratorium Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan (Satgas) REDD+, Tjokorda Nirarta Samadhi mengatakan revisi kali ketiga PIPIB ditetapkan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan SK.6315/Menhut-VII/IPSDH/2012 tentang PIPIB Pemanfaatan Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan, serta Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain pada 19 November 2012.
"Hasil PIPIB ini menunjukkan bahwa Indonesia makin dekat pada ketunggalan data dan peta yang menjadi acuan kementerian dan lembaga dalam menjalankan tata kelola pemerintahan yang lebih baik," ujar Samadhi di Jakarta. (spr)