Senin sore, 13 Agustus 2012, angin laut meniup dingin hingga ke pusat kota Denpasar. Paul Mandibondibo, pemuda kristen asal Papua, mengajak saya mencari Banjar Sembung Sari di kawasan Renon. Lokasinya tak jauh dari Lapangan Puputan, agak sedikit menjorok ke pemukiman, tempat dimana sejumlah pemuda tengah membuat keramaian. Paul bukan inisiator. Dia juga bukan warga banjar. Dia hanya perantau yang ingin ikut berperan dalam perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan RI ke-67.Kedatangan Paul disambut hangat. Dia dipersilahkan menjajal kemampuannya bermain ping-pong. Tanpa melepas jaket dan pakaian kerjanya, dia langsung mengambil posisi dan mengakhiri kompetisi dengan menjadi yang terbaik kedua. Malam ini , 17 Agustus 2012, rencananya menjadi puncak acara dan penyerahan hadiah. “Tapi maaf saya tidak bisa keluar [kamar], kondisi badan masih kurang enak,” ujarnya.Tidak hanya tenis meja yang diperlombakan. Masih ada permainan catur, tarik tambang, makan kerupuk, masukan paku dalam botol, balap karung, lari balon, dan mengambil koin dalam semangka. Tidak hanya itu, panitia juga menyelenggarakan pasar Sembako murah bagi warga. Sayang penyakit melemahkan semangat kemerdekaan Paul untuk lanjut meramaikan.Meski diadakan di banjar Sembung Sari, tetapi penyelenggara utama perlombaan 17-an itu bukanlah Sekeha Taruna Taruni (STT) atau wadah pemuda-pemudi setempat. Adalah jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Denpasar yang menjadi penggagas dan penyandang dananya. Kelompok minoritas itu berhasil mengajak warga banjar untuk menunjukan kecintaanya terhadap Tanah Air secara kolektif, tanpa memandang perbedaan. GKI juga menggelar pasar Sembako murah, seperti yang dilakukan pemerintah ketika memasuki bulan puasa. Banjar Sembung Sari dihuni oleh 334 kepala keluarga, yang mayoritas beragama Hindu. Sisanya 15% beragama Islam dan hanya 5% yang menganut Kristen. Meski hanya 5%, penduduk Kristen bersama jemaaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Denpasar berhasil menularkan semangat nasionalis di sana. Ada sekitar 300 jemaat GKI Denpasar, Paul salah satunya.Arnold Sitorus, Ketua Panitia HUT RI GKI Denpasar, menuturkan acara tersebut merupakan yang pertama kali melibatkan komunitas non-Kristen. Kesadaran akan pentingnya menghargai keberagaman menjadi pemantik GKI untuk bekerjasama dengan komunitas agama lain. Kegiatan tersebut bukan untuk Kristenisasi, tetapi murni untuk merajut persaudaraan.“Ini bukan karena kekuatan Si Kecil [GKI], tapi karena keterbukaan Si Besar [Banjar Sembung Sari],” ujar Arnold, yang juga pengurus Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Denpasar.Arnold memaknai kemerdekaan sebagai bentuk kebebasan berserikat dan beribadah bagi setiap individu, tanpa harus memaksakan kehendak atau merampas hak orang lain. Namun, tak semua manusia berpikiran sama dengan Arnold. Kasus Ahmadiyah dan HKBP Ciketing, Bekasi merupakan contoh intoleran sekelompok oknum yang mengatasnamakan agama tertentu.“Ini yang membuat kemerdekaan mengalami banyak kemunduran. Karena pemerintah tidak bisa menjamin kebebasan beragama,” kata Arnold.Keberagaman itu indah. Itu menjadi rusak ketika persaingan diwarnai kekerasan dan kecaman.“Marilah kita memanusiakan manusia. Manusia punya hak asasi. Setiap kita tidak bisa memaksakan kehendak,” tutur Arnold.Tidak PeduliKamis, 16 Agustus 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato di Gedung DPR/MPR Jakarta. Pidato kenegaraan tersebut disiarkan langsung diberbagai televisi nasional. Sumarta GP memilih tidur di kediamannya, beberapa langkah dari tempatnya berkantor sehari-hari di Banjar Sembung Sari. Sumarta adalah Kelian atau Kepala Banjar Sembung sari dengan masa jabatan baru dua bulan.Menurut Sumarta, kemerdekaan jangan hanya diisi oleh omong kosong, tapi bukti nyata yang bisa dirasakan. Dia menilai bergulirnya pemerintahan dari masa ke masa, yang diwarnai pergantian kepemimpinan, tidak banyak mengubah nasib sebagian besar rakyat Indonesia. Keadilan di segala bidang masih menjadi barang langka di mata Sumarta.“Kita sudah merdeka, tapi saya lihat keadilan belum merata. Masih banyak yang susah cari kerja, susah sekolah,” katanya.Mungkin itu yang menyebabkan Sumarta tak peduli dengan keriuhan yang terjadi di Ibu Kota. Hanya mantan Presiden Soekarno, pemimpin yang paling membekas di benak Sumarta. Pancasila menjadi produk pemikiran Bung Karno yang membentuknya menjadi pribadi yang toleran. Kebetulan, agama Hindu juga mengajarkan pentingnya saling menghargai dan silaturahmi dengan kelompok lain.“Waktu saya kecil, kalau keluarga saya bikin acara, keluarga muslim diundang, Kristen juga. Malah makanannya kami khususkan. Istilahnya Nyamuslam atau menjamu keluarga Islam atau Nyamusten, menjamu keluarga Kristen,”tuturnya.Sikap toleran semacam itu yang ingin ditularkan Sumantra ke masyarakat banjarnya. Karenanya selama dua bulan mengawali tugasnya sebagai Kepala Banjang Sembung Sari, Sumantra gencar melakukan pendataan tempat ibadah dan jumlah penganut agama non-Hindu di wilayahnya. Tujuannya untuk memetakan potensi kerjasama lintas agama. Dan untuk pertama kalinya, di bawah kepemimpinan Sumarta, Banjar Sembung Sari berhasil berkolaborasi dengan GKI dalam menggelar perayaan HUT RI Ke-67. (if)
HUT 67 RI: Belajar Toleransi di Hari Kemerdekaan
Senin sore, 13 Agustus 2012, angin laut meniup dingin hingga ke pusat kota Denpasar. Paul Mandibondibo, pemuda kristen asal Papua, mengajak saya mencari Banjar Sembung Sari di kawasan Renon. Lokasinya tak jauh dari Lapangan Puputan, agak sedikit menjorok
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Editor : Wan Ulfa Nur Zuhra
Topik
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.
Artikel Terkait
Berita Lainnya
Berita Terbaru

15 jam yang lalu
Aksi Tembak di India-Pakistan Masih Berlangsung
Terpopuler
# Hot Topic
Rekomendasi Kami
Foto
