"HAI orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu).." (QS 5:51)
Ayat ini lagi rame dipakai penceramah di mushola dan masjid di masa Pilkada kali ini, yang entah mengapa menafikan fakta bahwa Joko Widodo alias Jokowi dan Fauzi Bowo (Foke), sang calon "pemimpin" itu adalah seorang muslim. Hanya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, calon wakil Jokowi yang nonmuslim, sebuah jabatan yang sebenarnya sudah awam dipegang umat non-Islam di negara mayoritas muslim (Deputi alias Wakil PM Irak, Tariq Azis, misalnya adalah seorang Kristen, para tokoh Yahudi jadi menteri di era kejayaan Kordoba).
Untuk mengecek materi khotbah penceramah itu, umat Islam cukup mengacu kembali kepada Al-Quran, cek ke bahasa aslinya. Di ayat tersebut, kata yang diterjemahkan 'pemimpin-pemimpin' itu tak lain adalah 'awliyaa' yang berakar kata 'walaa', yang juga dipakai dalam kata 'wali.'
Lihatlah bagaimana kata yang sama, 'awliya,' diterjemahkan sebagai 'wali' di surah ini: "Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali." (QS 3:28). Karena itu, perlu ada konsistensi pemahaman untuk memahami pesan kedua surah yang konteksnya sama persis itu. yang dilarang itu mengangkat mereka jadi pemimpin (ketua RT, kades, lurah, presiden), atau menjadi wali?
Kata 'wali' dalam bahasa Arab memang memiliki beberapa pengertian: pemimpin, teman dekat, pelindung. Repotnya, di bahasa Indonesia, kata wali mengalami perluasan makna hingga dipakai dalam konteks: wali kelas, wali murid, wali amanat, sehingga maknanya seolah-olah meluas menjadi 'ketua atau pemimpin secara umum, di segala bidang, segala lini.
Untuk tur singkat mengenai makna kata ini, silakan buka http://en.wikipedia.org/wiki/Wali 'Dari berbagai penjelasan di situ, kita bisa melihat bahwa makna 'wali' bukanlah pemimpin urusan duniawi, melainkan pemimpin dalam hal keselamatan harta, jiwa, dan agama kita sebagai satu umat. Ada wilayah keagamaan di situ, sehingga tak heran kata 'wali' umumnya diterjemahkan sebagai 'saint' dalam bahasa Inggris.
Contoh kasus, kita bisa melihat walisongo. Apa mungkin, misalnya formasi salah satu wali diduduki pedanda Hindu? kan ga mungkin. Jadi, konteks kedua ayat di atas tepat jika dimaknai bahwa konsep wali mengacu pada petanda religi, bahwa umat nonIslam emang ga boleh diangkat jadi pemimpin spiritual umat Islam, karena memang sang wali ini memiliki peran vital dalam wilayah keagamaan ini.
Pemaknaan kata 'wali' yang lebih rigid ini mungkin juga bisa dilacak dalam sejarah suksesi khalifah Islam. Kata 'wali' (dan maula) inil menjadi pangkal konflik antara sunni dan syiah, terkait dengan posisi Ali bin Abi Thalib yang menurut hadist nabi adalah: maula, dan wali. Hadits mengenai "suksesi" wali umat Islam ini sama-sama dicatat dalam kitab Sunni dan Syiah. Namun keduanya berbeda pemahaman mengenai pemaknaannya.
Para ulama sunni menafsirkan kata itu sebagai 'teman dekat saja', tak kurang tak lebih, untuk kasus Ali bin Abi Thalib. Di sisi lain, ulama syiah menafsirkannya sebagai 'pemimpin komunitas Islam/ khalifah.' Sejauh ini saya pribadi memandang argumen syiah kuat. Dalam salah satu literatur sunni di kitab Fara'id al-Samtain, karya Abu Is'haq Ibrahim Ibn Sa'd al-Din Ibn al-Hamawiyia, hlm 58, Nabi disebutkan sudah memberi penjelasan tentang kata 'wali' ini:
Salman berdiri dan berkata : “Ya Rasulullah, apa artinya Walaa, dan bagaimana?” Rasul menjawab “Walaa artinya aku adalah Wali (waala’un kawala’i). Barang siapa menganggapku sebagai maulanya, aku lebih berhak atas dirinya (org tsb) daripada dirinya sendiri, dan Ali lebih berhak atas dirinya (org tsb) daripada dirinya sendiri (org itu sendiri).”
Sekarang, kembali ke konteks kekinian. Cocokkah jabatan gubernur dimasukkan dalam kategori 'wali' tersebut, di mana struktur posisinya sama seperti Ali bin Abi Thalib, yang dijuluki sebagai 'gerbangnya ilmu agama' atau seperti konteks 'Nabi sebagai pemimpin umat'? atau cuma amanat teknis seperti ketua tim peneliti, koordinator operasi, dan ketua RT? monggo didiskusikan.. saya masih perlu lebih banyak input dan perspektif.
Tapi sebelum itu, izinkan saya tutup "provokasi" ringkas saya ini dengan surah Quran juga: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.“ (QS 4:58)