Bisnis.com, JAKARTA -- Pada hari buruh internasional yang jatuh pada 1 Mei 2018, para buruh dari berbagai serikat buruh menyuarakan aspirasi mereka yang dirasa terabaikan oleh pemerintah.
Dengan lantang, terbuka dan penuh harapan mereka menyuarakan 'kegundahan' akan masa depan mereka.
Ini mengingatkan kita pada sosok Marsinah, aktivis yang sekaligus buruh pabrik di Zaman Pemerintahan Orde Baru, yang berkerja di PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.
Kala itu, berdasarkan Surat Edaran Gubernur Jatim No 50 Tahun 1992 yang meminta para pengusaha agar menaikkan gaji karyawan mereka sebesar 20% dari gaji pokok.
Itu membuat Marsinah dan teman-temannya menuntut upah mereka naik dari Rp1.700 menjadi Rp2.250 per hari. Pada 3 Mei 1993, seluruh buruh PT Catur Putera Surya (CPS) memutuskan untuk mogok kerja dan berdemo menuntut kenaikan upah mereka dikabulkan.
Keesokan harinya, tepatnya 4 Mei 1993, buruh PT CPS benar-benar mogok kerja dan tetap berdemonstrasi di depan PT CPS. Saat itu, pihak perusahaan bersedia melakukan perundingan, dan dari hasil perundingan dengan 15 buruh (termasuk Marsinah) dikatakan pihak CPS bersedia menaikkan gaji pekerja mereka.
Sayangnya, pasca perundingan tersebut siang hari pada 5 Mei 2018, tanpa Marsinah, 13 rekannya yang ikut perundingan dengan pihak CPS digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo, karena dianggap sebagai dalang dibalik unjuk rasa yang dilakukan oleh para buruh CPS.
Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari posisi mereka di CPS. Marsinah yang kaget dengan tindakan tersebut sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan 13 rekannya itu.
Di jam-jam terakhir sebelum dirinya menghilang, Marsinah sempat bertemu dengan 13 rekannya, membahas ketidakadilan yang mereka hadapi dan sepakat untuk menemui pihak CPS atas keputusan mereka yang 'jahat' tersebut.
Namun siapa sangka, tepat pukul 10 malam, di hari yang sama, Marsinah sudah tidak terlihat lagi batang hidungnya. Dia menghilang selama tiga hari sampai ditemukan mayat perempuan pada 8 Mei 1993 di hutan dusun Jegong, desa Wilangan dalam kondisi yang memprihatinkan.
Iya, mayat itu adalah Marsinah. Dia terbunuh setelah diperkosa dan disiksa habis-habisan oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab yang sampai saat ini tidak diketahui 'batang hidungnya'.
Koordinator Front Perjuangan Rakyat (FPR) sekaligus Ketua Umum Gerakan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) Rudi HB Daman, mencoba mengenang sosok buruh peraih Penghargaan Yap Thiam Hien paska kematiannya itu meski dia tidak mengenalnya secara langsung.
Rudi, begitu dia dipanggil, mengatakan tidak terselesaikannya kasus Marsinah sampai saat ini adalah bentuk pemerintah tidak hadir melakukan hal konkret untuk melindungi hak buruh dan keluarganya.
"Saya kira ketidaksanggupan pemerintah menjawab atau menyelesaikan persoalan-persoalan buruh termasuk [kini] mengenai buruh migran, karena dia [pemerintah] bekerja tidak mendengarkan apa yang menjadi aspirasi buruh migran membuat undang-undang tidak melibatkan buruh," ungkap Rudi, begitu dia dipanggil pada acara Demo Buruh, di Taman Pandang, Monas, Jakarta, Selasa (1/5/2018).
Tidak hanya Rudi, para serikat buruh yang hadir juga dengan kompak meminta agar upah mereka dibayarkan sesuai dengan porsi kerjanya. Begitupun tentang status jenjang karir mereka yang sering diambangkan oleh perusahaan tempat mereka mengais rezeki.
Mereka berdemo di Taman Pandang, Monas, dari pukul 10.00 WIB sampai pukul 17.00 WIB dengan harapan agar aspirasi mereka tidak hanya didengarkan oleh pemerintah, tetapi juga ditindaklanjuti secara konkret agar nasib masa depan mereka menjadi lebih cerah ditengah kondisi bangsa yang dirasa cukup memprihatinkan ini.
Akankan aspirasi yang disampaikan dengan menggebu-gebu, menguras tenaga sekaligus keringat para buruh tersebut akan dikabulkan oleh pemerintah? Atau meski tidak seekstrim sakit yang dirasakan Marsinah, pemerintah hanya akan tetap diam seolah-olah masalah yang dihadapi buruh saat ini tidak penting untuk diurusi seperti nasib kasus Marsinah yang akan menemui masa daluwarsanya pada 8 Mei 2018?
Kita lihat saja bagaimana nasip buruh Indonesia ke depannya..