Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi melimpahkan proses penyidikan ke tahap penuntutan terhadap mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung yang merupakan tersangka dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"Penyidik hari ini telah menyerahkan barang bukti dan tersangka Syafruddin Arsyad Temenggung kepada penuntut umum atau tahap dua," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Rabu (18/4/2018).
Menurut Febri, sidang rencananya akan digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Pada tahapan penyidikan sebelumnya telah diperiksa sekurangnya total 72 saksi untuk tersangka Syafruddin Arsyad Temenggung," kata Febri.
Unsur saksi antara lain staf, Direksi dan komisaris PT Gajah Tunggal, pengacara, Guru Besar FE UI, notaris, Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), pegawai dan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kanwil Jawa Tengah, tim Bantuan Hukum, staf Khusus Wapres, komisaris PT Kasongan, dan wiraswasta atau unsur swasta lainnya.
"Sebelum pelimpahan tahap dua hari ini, Syafruddin sendiri dalam kapasitas sebagai tersangka telah beberapa kali diperiksa pada 5 September 2017, 3 Januari 2018, dan 9 Januari 2018," ungkap Febri.
Baca Juga
Sementara itu Yusril Ihza Mahendra kuasa hukum Syafruddin juga membenarkan bahwa kliennya itu akan segera disidang.
"Jadi saya pagi ini menemani sahabat saya saudara saya Syafruddin Arsyad Temenggung yang hari ini tanggal 18 Aprilk 2018 di KPK telah dilimpahkan berkas perkara dan orangnya dari penyidik kepada penuntut umum KPK. Kami tadi sama-sama menandatangani berkas-berkas dan dokumen yang diperlukan untuk itu," kata Yusril di gedung KPK, Jakarta, Rabu.
Ia pun menyatakan bahwa tim penasihat hukum Syafruddin akan melakukan persiapan untuk menghadapi persidangan di Pengadilan Tipkor Jakarta.
"Seperti kita ketahui bahwa dalam Undang-Undanh KPK dalam waktu 14 hari kerja sejak pelimpahan hari ini maka perkara itu sudah harus dilimpahkan ke pengadilan dan kami bersama-sama dengan tim penasihat hukum semuanya sudah bersiap-siap untuk menghadapi persidangan yang akan dilakukan mudah-mudahan tidak terlalu lama," tuturnya.
KPK telah menetapkan Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka pada April 2017.
Adapun tindak pidana korupsi oleh Syafruddin terkait pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada pemegang saham pengendali Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.
SKL itu diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).
Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjarajakti dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.
Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.
Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses litigasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Dalam perkembangannya, berdasarkan audit investigatif BPK RI, kerugian keuangan negara kasus indikasi korupsi terkait penerbitan SKL terhadap BDNI menjadi Rp4,58 triliun.
KPK telah menerima hasil audit investigatif itu tertanggal 25 Agustus 2017 yang dilakukan BPK terkait perhitungan kerugian negara dalam perkara tindak pidana korupsi pemberian SKL kepada pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.
Dari laporan tersebut nilai kerugian keuangan negara sebesar Rp4,58 triliun dari total kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN sebesar Rp4,8 triliun.
Dari hasil audit investigatif BPK itu disimpulkan adanya indikasi penyimpangan dalam pemberian SKL pada BDNI, yaitu SKL tetap diberikan walaupun belum menyelesaikan kewajiban atas secara keseluruhan.
Nilai Rp4,8 triliun itu terdiri atas Rp1,1 triliun yang dinilai "sustainable" dan ditagihkan kepada petani tambak. Sedangkan Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi yang menjadi kewajiban obligor yang belum ditagihkan.