Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PILKADA 2017: Kotak Kosong Tak Dikenal Dalam Teori Demokrasi

Tidak perlu memberi fasilitasi regulasi terhadap kotak kosong agar tak selalu hadir di dalam sistem politik di Tanah Air.
Ilustrasi/Antara-Yahanan Sulam
Ilustrasi/Antara-Yahanan Sulam

Kabar24.com, SEMARANG - Fenomena kotak kosong dinilai sebagai anomali dan tidak perlu difasilitasi keberadaannya dalam perpolitikan Indonesia.

Ketua Program Magister Ilmu Politik (MIP) Universitas Diponegoro Semarang Teguh Yuwono menyatakan tidak perlu memberi fasilitasi regulasi terhadap kotak kosong agar tak selalu hadir di dalam sistem politik di Tanah Air.

"Sebetulnya, kalau bicara mengenai teori demokrasi dan teori kompetisi, tidak dikenal kotak kosong di dalam ilmu demokrasi atau ilmu politik," kata Teguh di Semarang, Selasa (14/3/2017).

Teguh mengemukakan hal itu menjawab pertanyaan terkait dengan evaluasi pemilihan kepala daerah serentak, khususnya belum adanya aturan kampanye kotak kosong dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menjadi Undang-Undang.

Kotak kosong itu, lanjut Teguh yang juga dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Undip Semarang, bukan kandidat yang bisa dipertandingkan di dalam sebuah program kompetisi politik sehingga tidak perlu diberi ruang.

Oleh karena itu, dia memandang perlu ada aturan guna mencegah keberadaan kotak kosong dalam pilkada. Misalnya, partai politik (parpol) yang punya kewenangan mengusung pasangan calon tidak boleh ada borong dukungan sehingga 90% semua mendukung satu pasangan calon.

"Harusnya dibatasi. Tidak boleh ada borongan dukungan, maksimal dukungan, misalnya 50% atau 60%, sehingga minimal ada dua pasangan calon," katanya lagi.

Ia menekankan, "Demokrasi choices, pilihan, demokrasi itu pilih a atau b, bukan pilih a atau kotak kosong."

Teguh juga memandang perlu pemberian sanksi terhadap parpol yang sebenarnya memenuhi syarat mengusung pasangan calon tetapi tidak memiliki kemampuan mencalonkan pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah pada pilkda.

Sanksi bagi parpol yang punya kesempatan mengusung pasangan calon tetapi tidak mencalonkan, kata Teguh, adalah larangan untuk tidak ikut dalam pilkada berikutnya.

"Kalau parpol tidak mampu mengusung pasangan calon, ya, diberi sanksi. Jangan lantas berpikir karena ada kekosongan hukum dalam pilkada menyangkut kotak kosong kemudian dicari isi hukumnya. Itu pradigma yang keliru," katanya.

Ia mencontohkan pilkada di Kabupaten Pati yang pesertanya hanya satu pasangan calon, yakni H Haryanto, SH, MM, MSi dan H Saiful Arifin. Pasangan ini didukung delapan dari sembilan partai politik yang ada di daerah itu.

Kedelapan parpol tersebut yakni PDI Perjuangan, Partai Gerindra, PKB, Demokrat, Golkar, Hanura, PKS dan PPP dengan total dukungan 46 kursi DPRD setempat. Padahal, syarat untuk mengusung pasangan calon sebanyak 20 persen dari 50 kursi (10 kursi) DPRD Kabupaten Pati.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Newswire
Editor : Saeno
Sumber : Antara

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper