Bisnis.com, JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) telah memeriksa tujuh orang saksi salam kasus tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina-KKKS periode 2018-2023.
Kapuspenkum Kejagung, Harli Siregar mengatakan dari satu dari tujuh saksi itu merupakan Vice President Industrial Fuel & Marine PT Pertamina Patra Niaga berinisial MTS.
Selain MTS, pejabat Pertamina Patra Niaga yang diperiksa lainnya yaitu FYP selaku Manager Management Reporting. Keduanya diperiksa pada Rabu (9/4/2025).
"MTS selaku Vice President Industrial Fuel & Marine PT Pertamina Patra Niaga dan FYP selaku Manager Management Reporting PT Pertamina Patra Niaga diperiksa," ujar Harli dalam keterangan tertulis, Kamis (10/4/2025).
Kemudian, Harli menyampaikan saksi yang diperiksa lainnya yaitu SN selaku Direktur Pembinaan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Adapun, RA selaku Staf pada Fungsi Crude Oil Supply PT Kilang Pertamina Minyak Internasional dan RDF selaku Specialist 1 HPO PT Kilang Pertamina Internasional periode 2020 hingga 2024.
Baca Juga
Selanjutnya, RH selaku GA dan QC Lab. PT Orbit Terminal Merak dan GM selaku Senior Manager Commercial Medco E & P Grissik Ltd. pada 2022 turut diperiksa.
Namun, Harli tidak merinci secara detail terkait pemeriksaan ini. Dia hanya menyebut bahwa pemeriksaan dilakukan untuk melengkapi berkas perkara atas tersangka Yoki Firnandi Cs.
"Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan melengkapi pemberkasan dalam perkara dimaksud," pungkasnya.
Sebagai informasi, Kejagung telah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang Pertamina-KKKS 2018-2023.
Sembilan tersangka itu mulai dari Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga; Yoki Firnandi (YF) selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping; hingga anak Riza Chalid, Muhammad Kerry Andrianto Riza selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa.
Pada intinya, kasus ini melibatkan penyelenggara negara dengan broker. Kedua belah pihak diduga bekerja sama dalam pengaturan proses pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang periode 2018-2023.
Adapun, akibat adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut, Kejagung mengungkap bahwa negara dirugikan sekitar Rp193,7 triliun.