Bisnis.com, JAKARTA - Menjelang ramadan, ada sejumlah tradisi yang biasa dijalani masyarakat di Jawa.
Kedua tradisi itu yakni nyadran dan ruwahan. Nyadran dan ruwahan bagi masyarakat awam kerap dianggap sama. Padahal dua tradisi ini merupakan dua hal yang berbeda.
Pasalnya, dua hal ini sama-sama dilakukan ketika menjelang bulan puasa Ramadan.
Dikutip dari Solopos.com dari situs resmi Kecamatan Samigaluh, Kulon Progo, DIY, perbadaan ruwahan dan nyadran terletak pada ritualnya.
Ruwahan merupakan tradisi kebudayaan Jawa untuk mendoakan orang yang telah meninggal dunia. Sementara itu, nyadran adalah rangkaian budayannya, mulai dari pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan kenduri yang digelar di masjid, musala, maupun tempat yang ditunjuk.
Bagi umat muslim, tradisi nyadran ini juga diikuti pula dengan membaca Surat Yasin dan tahlil saat kenduri bersama.
Baca Juga
Meski berbeda, nyadran dan ruwahan dinilai sebagai bentuk akulturasi budaya Jawa, Hindu, dan Islam. Sebagaimana diugkap pengamat kebudayaan Jawa dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Suyatno.
“Sekarang orang Islam di Jawa kalau bulan Ruwah pada nyekar ke makam leluhur atau orang terdekat [kerabat], atau orang yang dicintai,” katanya kepada wartawan, Kamis (10/3/2022).
Dia mengatakan nyadran sudah ada pada masa Hindu-Buddha. Sebelum berkembangnya Islam di Nusantara (Jawa), upacara serupa nyadran dulunya dilakukan sebagai bentuk pemujaan roh leluhur.
Sraddha, begitu istilah upacara tersebut. Kata tersebut yang pada akhirnya diucapkan oleh masyarakat menjadi nyadran.