Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kontroversi Nama Laut China Selatan Berubah Jadi Laut Natuna Utara

Perubahan nama Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara yang dilakukan sejak pertengahan 2016 masih menjadi kontroversi.
Kontroversi Nama Laut China Selatan Berubah Jadi Laut Natuna Utara/military.com
Kontroversi Nama Laut China Selatan Berubah Jadi Laut Natuna Utara/military.com

Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia telah mengumumkan secara resmi perubahan nama perairan Laut China Selatan di utara Kepulauan Natuna menjadi Laut Natuna Utara, sejak pertengahan 2016.

Perubahan nama itu menimbulkan kontroversi dari negara lain. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang menyatakan bahwa perubahan nama untuk perairan di utara Kepulauan Natuna itu sebagai hal yang tidak kondusif. 

"Negara-negara tertentu yang melakukan penamaan kembali, itu tak ada artinya sama sekali dan tidak kondusif dalam upaya mendorong standardisasi penamaan geografi," katanya, seperti dilansir dari BBC, pada Kamis (27/7/2023). 

Kementerian Luar Negeri China mengatakan mestinya negara-negara di kawasan menjaga suasana kondusif di perairan di Laut China Selatan yang tidak mudah untuk dijaga atau dipertahankan.

Pembelaan Indonesia

Deputi I Kementerian Koordinator Kemaritiman RI, Arif Havas Oegroseno telah menjelaskan bahwa pemerintah memilih nama Laut Natuna Utara berdasarkan penamaan yang telah lebih dulu digunakan industri migas untuk perairan tersebut.

"Selama ini sudah ada sejumlah kegiatan migas dengan menggunakan nama Natuna Utara dan Natuna Selatan. Supaya ada satu kejelasan dan kesamaan dengan landas kontinen, tim nasional sepakat menamakan perairan itu sebagai Laut Natuna Utara," katanya. 

Arif mengatakan bahwa proses penamaan yang dikerjakan lintas kementerian dan lembaga itu sesuai dengan standar yang ditetapkan International Hidrographic Organization dan ketentuan Electronic Navigational Chart.

Dia menyatakan bahwa pemerintah Indonesia yakin bahwa penamaan itu tidak akan menyulut sengketa baru terkait Laut China Selatan. 

Lebih lanjut, dia mengatakan pemerintah juga tidak berkewajiban meminta pertimbangan maupun mempublikasikan penamaan itu kepada negara-negara tetangga.

"Pemerintah [Indonesia] punya kepentingan memperbarui nama karena landas kontinen itu milik Indonesia. Saya tidak tahu Malaysia dan negara lain perlu tahu," lanjutnya. 

Kemudian, Arif menyatakan pemerintah Indonesia tidak akan bernegosiasi dengan negara lain yang mengajukan klaim tanpa dasar konvensi hukum laut, termasuk China yang sangat bersikeras. 

Seperti diketahui, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia saat itu Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan bahwa perubahan nama itu untuk mengamankan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil laut.

"Pemerintah tidak ada sengketa dengan China di perbatasan karena Indonesia menggunakan zona maritim sesuai konvensi hukum laut. Peta Indonesia memiliki koordinat, tanggal, dan data yang jelas," katanya.

Sementara itu, pembahasan terkait Laut China Selatan juga akan disinggung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pertemuannya dengan Presiden China Xi Jinping. 

Jokowi melakukan kunjungan ke Chengdu, China untuk memenuhi undangan dari Xi Jinping, pada Kamis-Jumat, 27-28 Juli 2023.

Potensi Laut Natuna

Dilansir dari laman resmi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), proses pembentukan secara geologi dari basin Laut Natuna Utara dan Laut China Selatan dalam waktu lama, menimbulkan cekungan-cekungan minyak dan gas bumi di bawahnya.

Akibat pembentukan geologi basin tersebut, Laut Natuna Utara memiliki kedalaman yang dangkal, yang menyambung ke batimetri basin yang dalam dari Laut China Selatan. Basin tersebut kemudian membangkitkan pola sirkulasi arus laut yang unik, yakni Viet Nam Jet Current (VJC) dan Natuna Off-Shelf Current (NOC). 

Viet Nam Jet Current adalah sirkulasi arus yang mengalir dari arah Samudera Pasifik Barat Laut China Selatan dengan kecepatan tinggi. 

Sirkulasi arus itu menyusur tebing Laut China Selatan di sisi barat-laut/utara yang melewati Vietnam. Kemudian berbalik arah ketika mendekati tebing Laut Natuna Utara sehingga kemudian disebut sebagai Natuna Off-Shelf Current (NOC). 

Secara singkat, Laut Natuna Utara memiliki unsur-unsur yang mendukung kehidupan biota laut, termasuk ikan-ikan dengan nilai ekonomis.

Sejarah Sengketa Laut China Selatan

Melansir laman Indonesia.go.id, sejarah sengketa Laut China Selatan muncul pertama kali pada dasawarsa 1970-an hingga saat ini.

Sejumlah negara terlibat dalam konflik Laut China Selatan dengan mengklaim memiliki wilayah di kawasan perairan tersebut. Mereka adalah China, Filipina, Brunei, Malaysia, Taiwan, dan Vietnam.

China, misalnya, pada 1947 mengeluarkan peta baru yang merinci klaim kedaulatan mereka terhadap teritorial perairan Laut China Selatan, atau sohor dengan istilah “Sembilan Garis Putus-putus” (Nine-Dashed Line). Legitimasi negeri tirai bambu didasarkan pada sejarah penguasaan tradisional di masa lampau.

Sementara itu, Filipina, Vietnam, Taiwan, Brunei, dan Malaysia, mengklaim bahwa sebagian wilayah Laut China Selatan masuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara-negara tersebut berpijak pada Konvensi Hukum Laut Internasional atau United Nations Convention on the Law of Sea (Unclos, 1982).

Indonesia sebenarnya sejak awal bukanlah negara pengklaim. Indonesia tidak pernah mengklaim wilayah perairan dari Laut China Selatan, yang diperselisihkan oleh Filipina, Brunei, Malaysia, Taiwan, dan Vietnam di satu sisi, dengan China di sisi lain. Indonesia juga tidak berada dalam perselisihan klaim terhadap dua gugusan kepulauan besar di Laut China Selatan.

Namun, sejak 2010 Indonesia jadi 'terlibat' dalam sengketa Laut China Selatan, setelah China secara sepihak mengklaim terhadap keseluruhan perairan Laut China Selatan. Termasuk di dalamnya ialah perairan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia, yaitu sebuah kawasan di utara kepulauan Natuna Provinsi Kepulauan Riau.

Ketika itu Indonesia berupaya menahan kapal-kapal penangkap ikan China di Laut China Selatan, namun kemudian disusul nota protes pemerintah China yang meminta kapal itu dilepaskan. Kasus serupa terjadi kembali pada 2013 dan berpuncak pada 2016.

Kemudian, pada 2017, Indonesia meluncurkan peta Negara Kesatuan Republik Indonesia versi baru. Peta tersebut menitikberatkan pada perbatasan laut Indonesia dengan negara lainnya. Nama Laut China Selatan juga diganti menjadi Laut Natuna Utara.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper