Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kata Pengamat Soal Bayar Ganti Rugi Bisa Bebas Pidana Keuangan

Pemerintah mendorong penyelesaian perkara di sektor jasa keuangan dengan prinsip keadilan restoratif dan ultimum remedium. 
Ilustrasi
Ilustrasi

Bisnis.com, JAKARTA -- Pemerintah mendorong penyelesaian perkara di sektor jasa keuangan dengan prinsip keadilan restoratif dan ultimum remedium. Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.5/2023.

Seperti diketahui, salah satu poin yang diatur dalam PP No.5/2023 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan adalah pengajuan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), untuk penyelesaian pelanggaran atas peraturan perundang-undangan.

Pihak yang mengajukan permohonan itu, sesuai PP, wajib melaksanakan kesepakatan termasuk membayar ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.

Selain ganti rugi, OJK berwenang untuk menetapkan sanksi adminstratif terhadap pihak yang diduga melakukan pidana keuangan. 

Berdasarkan pasal 9 ayat (10) PP No.5/2023, terdapat delapan sanksi administratif yang bisa diterapkan kepada pihak yang melakukan pidana. Beberapa contohnya seperti peringatan tertulis, pembatasan dan pembekuan produk/layanan/kegiatan usaha, denda administratif, hingga pencabutan izin usaha. 

Pengamat hukum pidana Fachrizal Afandi berpesan agar nantinya ganti rugi hingga sanksi administratif yang akan dilakukan bisa diatur secara jelas dan spesifik. Hal itu guna mencegah adanya penyelewengan. 

"Kalau proses tidak transparan, akuntabel, dan jelas, serta tidak dijelaskan misalnya bayar [sanksi] berapa dan berapa kerugiannya, pasti akhirnya akan bayar ke aparat saja. Masalahnya adalah di transparansi dan akuntabilitas. Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely," ujarnya, Rabu (1/2/2023). 

Masih pada pasal 9, ayat 13 menjelaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian pelanggaran dan permohonan dari pihak yang melakukan pidana keuangan, akan diatur dengan Peraturan OJK. 

Fachrizal lalu menjelaskan bahwa penyelesaikan perkara di luar persidangan memang dimungkinkan pada KUHP baru, di mana korban dan pelaku pidana, dalam istilahnya, berdamai. Namun, dalam konteks keadilan restoratif pidana sektor jasa keuangan, korban harus juga didefinisikan lebih detail. 

"Korban itu siapa dulu? Negara? Atau masyarakat? Kalau misalkan seperti BLBI itu tidak bisa restorative justice," tuturnya. 

Selain itu, lanjut Fachrizal, harus ada batasan spesifik yang diatur dalam menerapkan keadilan restoratif justice dan ultimum remedium pada perkara kerugian korban pidana keuangan.  

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya itu mengatakan bahwa adanya penyelesaian perkara dengan keadilan restoratif dan ultimum remedium lantaran hukuman pidana (penjara) tidak menyelesaikan masalah, terutama bagi korban. 

Kendati demikian, tegasnya, tidak semua kasus pidana keuangan bisa menerapkan keadilan restoratif dan ultimum remedium. 

Satu masalah lain yang disoroti Fachrizal yakni belum ada aturan di Indonesia pada level undang-undang yang secara spesifik mengatur restorative justice. 

"Memang di Peraturan Polisi itu tidak ada batasannya, itu masalah. Kita sampai sekarang belum ada aturan soal keadilan restoratif di level undang-undang," ucapnya. 

KEWENANGAN OJK

Adapun, jika mengacu pada PP yang diteken pemerintah 30 Januari 2023 lalu itu, OJK memiliki wewenang untuk menetapkan dimulainya, tidak dilakukannya, atau dihentikannya penyidikan. Sementara itu, lembaga yang menaungi sektor keuangan tersebut perlu juga berkoordinasi dengan Kepolisian. 

Secara khusus, terdapat sejumlah poin yang merincikan wewenang OJK untuk tidak melakukan maupun menghentikan penyidikan. Pertama, OJK melakukan penyelidikan berdasarkan informasi atau temuan soal kejahatan keuangan. 

Kedua, namun dalam proses penyelidikan tersebut, terduga pelaku kejahatan keuangan bisa mengajukan penyelesaian pelanggaran sesuai ketentuan yang berlaku kepada OJK (ganti rugi). 

Ketiga, OJK melakukan penilaian terhadap permohonan penyelesaian pelanggaran. Penilaian memperhitungkan nilai pelanggaran pemohon. Keempat, ada tiga aspek yang dinilai OJK dalam melakukan penilaian tersebut. Ketiga aspek itu antara lain ada atau tidaknya penyelesaian kerugian, nilai transaksi atau kerugian dan dampak terhadap sektor jasa keuangan, nasabah, investor, hingga masyarakat. 

Kelima, pemohon wajib membayar seluruh ganti rugi sesuai kesepakatan jika OJK menyetujui permohonan penyelesaian pelanggaran. Keenam, OJK menghentikan penyidikan jika ganti rugi sesuai kesepakatan telah disepakati seluruhnya. 

Ketujuh, ganti rugi adalah hak dari pihak dirugikan bukan bagian dari pendapatan OJK. Kedelapan, selain ganti rugi OJK juga bisa mengenakan sanksi administratif kepada pihak pelaku kejahatan keuangan. Sanksi yang dimaksud bisa berupa peringatan tertulis, denda, hingga pencabutan izin usaha. 

Kesembilan, OJK juga bisa memutuskan untuk melanjutkan penyidikan jika tidak menyetujui permohonan penyelesaian atau karena pihak pemohon ingkar dari kesepakatan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Dany Saputra
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper