Bisnis.com, JAKARTA -- Gelaran G20 sebentar lagi dimulai. Semua persiapan juga sudah selesai. Namun ada yang mengganjal, ajang bergengsi bagi 20 negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia ini terancam hanya sekadar ajang basa-basi, jika tak menghasilkan satupun komunike.
Apalagi kalau merunut ke belakang, sejumlah pertemuan pendahuluan di level kelompok kerja baik itu di bidang ekonomi hingga masalah perdagangan juga tidak ada yang menghasilkan kesepakatan.
Dalam catatan Bisnis, pada pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 pada Kamis (14/10/2022), yang mewakili 80 persen dari ekonomi global dan termasuk AS, Cina, Rusia dan Arab Saudi, pembahasan tentang invasi Rusia ke Ukraina menjadi topik perselisihan.
"Selama sesi G20, negara-negara termasuk Jerman mendorong bahasa yang lebih keras untuk mengutuk perang, tetapi pertemuan itu bubar tanpa kesepakatan."
Di sisi lain, tensi politik global saat ini memang sedang tidak stabil. Invasi Rusia terhadap Ukraina, ketegangan antara Barat vs China, serta isu-isu Laut China Selatan dan ketegangan di Indo Pasifik sepertinya akan menjadi tantangan tersendiri dalam penyelenggaraan KTT G20 di Bali.
Selain itu, pernyataan Kremlin yang menyebut Presiden Rusia Vladimir Putin tidak akan menghadiri konferensi tingkat tinggi tersebut juga diprediksi bakal semakin menghilangkan daya tarik G20 di Bali.
Baca Juga
Padahal kalau Putin datang, tentu akan menarik perhatian. Publik akan mengamati bagaimana dia berkomunikasi dengan kepala negara lain. Apakah dia akan bertemu dengan Joe Biden, Xi Jinping, atau pemimpin Eropa yang diperkirakan datang dalam perhelatan tersebut. Sayangnya tidak datang.
Mungkin Putin memiliki pertimbangan lain. Sebab kalaupun hadir, dia akan menjadi bahan cacian oleh para pemimpin Barat yang mendominasi G20. Ujung-ujungnya mereka akan berupaya memengaruhi anggota lainnya untuk memberikan sanksi yang lebih keras ke Rusia. Rusia membalasnya dengan walk out.
Lalu apa yang bisa dihasilkan di Bali?
Sebenarnya ada banyak hal yang bisa banyak harapan dari KTT G20 Bali. Ada atau tanpa Putin, hubungan antara Rusia dengan Barat menjadi isu strategis. Hubungan dua blok politik tersebut semakin renggang pasca invasi Rusia ke Ukraina.
Serangan Rusia ke Ukraina telah mengakibatkan dunia tidak stabil. Harga energi, terutama minyak dan gas, dan harga pangan meroket. Semua negara gelagapan, paling parah tentu Eropa. Mereka terancam, bahkan sudah, gelap gulita karena ketergantungan mereka terhadap suplai energi Rusia.
Inflasi juga meroket. Kebutuhan bahan pangan semakin menipis. Blokade laut hitam yang dikendalikan oleh Rusia mengakibatkan rantai pasok makanan, terutama gandum, terganggu. Bencana kelaparan mengancam seantero dunia.
Meskipun, Indonesia sebenarnya tidak terimbas secara langsung, karena makanan yang dikonsumsi mayoritas penduduk Indonesia berasal dari beras bukan gandum. Ini terkecuali bagi mereka yang menjadikan mie instan sebagai makanan pokok.
Imbas langsungnya paling harga-harga kebutuhan naik bukan karena bahan kebutuhan pokok langka seperti yang sedang melanda Eropa, tetapi lebih disebabkan oleh imbas kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Harga minyak mentah Indonesia (ICP) naik dua kali lipat dari asumsi APBN 2022. Akibatnya pemerintah harus mengorek anggaran subsidi lebih dalam demi menjaga stabilitas. Isu ini penting tetap dihembuskan, meski di level menteri G20 tak ada satupun kesepakatan yang dicapai.
Selain krisis pangan dan energi, kesepakatan tentang pencegahan perubahan iklim hingga ekonomi digital juga perlu diperjuangkan, setidaknya bagi negara seperti Indonesia atau Eropa yang sampai sekarang belum memperoleh 'hak-nya' dari aktivitas ekonomi digital, terutama dari perusahaan over the top asal negara paman Sam, Amerika Serikat.
Tetapi upaya itu juga tidak mudah. Karena Amerika punya banyak instrumen untuk menolak rencana tersebut. AS jelas punya kepentingan politik dengan ekosistem ekonomi digitalnya.
Oleh karena itu, sepertinya AS tetap berusaha mempertahankan status quo dengan dalih apapun. Termasuk ancaman retaliasi alias pembalasan seperti yang sudah terjadi sebelumnya. Kalau itu terjadi, lagi-lagi potensi terciptanya komunike di G20 Bali seperti panggang jauh dari api.
Luhut Tak Masalah
Kendati dibayangi ancaman tidak tercapainya komunike selama konferensi berlangsung, salah satu pejabat tinggi negara Luhut Binsar Pandjaitan mengaku tak mempersoalkan hal itu.
Luhut menyatakan bahwa wajar jika tidak terdapat komunike dari Konferensi Tingkat Tinggi atau KTT G20 karena kondisi dunia yang penuh ketidakpastian.
Dia menyebut bahwa kondisi dunia tidak pernah sekompleks ini dalam pelaksanaan KTT G20 sebelumnya. Oleh karena itu, menurut Luhut, wajar jika tidak tercapai komunike dalam pertemuan G20.
“Kalau pada akhirnya [KTT G20] tidak melahirkan komunike, menurut saya, ya sudah, enggak apa-apa,” ujar Luhut pada Sabtu (12/11/2022).
Meskipun begitu, Luhut menilai bahwa terdapat lebih dari 361 capaian yang berlangsung dalam perhelatan Presidensi G20 Indonesia. Hal itu mencakup aspek kesehatan, dekarbonisasi, bisnis, dan lain-lain.
Luhut menyebut bahwa kesepakatan-kesepakatan itu bernilai miliaran dolar AS, sehingga bukan sesuatu yang sederhana. Terdapat banyak kerja sama pula yang terjalin selama gelaran di Bali.
“Saya lihat leaders komunike penting, tetapi yang lebih penting lagi berbagai hasil dari pertemuan negara-negara G20 ini. Kami berharap beberapa waktu ke depan ada komunike, tetapi kalau tidak ya kita lihat yang lain,” kata Luhut.