Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Wacana Duet Prabowo-Jokowi pada Pemilu 2024, Menang atau Kalah?

Wacana duet Prabowo-Jokowi muncul ke permukaan, dan menjadi perbincangan. Apakah wacana ini akan terwujud pada Pemilu 2024?
Ilustrasi - Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto/Antara
Ilustrasi - Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto/Antara

Bisnis.com, JAKARTA - Wacana duet Jokowi-Prabowo pada Pemilu 2024 menjadi bahan perbincangan akhir-akhir ini. Mungkinkah duet ini terwujud dan bagaimana peluang menang dalam kontestasi pemilihan presiden?

Analis politik yang juga CEO & Founder Voxpol Center Research and Consulting,  Pangi Syarwi Chaniago, memberi lima catatan penting perihal wacana Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dalam keterangan tertulisnya yang diterima Jumat (16/9/2022).

Menurut dia, sah-sah saja di dalam iklim demokrasi, apalagi setelah santer wacana ini dikembangkan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa presiden dua periode boleh kembali berlaga pada Pemilu menjadi wakil presiden (wapres), karena tidak diatur konstitusi dan tak terbentur peraturan perundang undangan.

Alhasil, MK menyebut presiden yang telah terpilih dua periode masa jabatan boleh mencalonkan kembali sebagai calon wakil presiden (cawapres) dalam Pemilu.

UUD 1945, ujarnya, tidak secara eksplisit mengatur larangan presiden dua periode tidak boleh maju sebagai cawapres. Itu artinya, usulan tersebut lebih masuk akal dan rasional karena tidak menabrak undang-undang dan konstitusi.

Pangi membeberkan lima catatan penting dari wacana duet Jokowi-Prabowo pada Pemilu 2024.

Pertama, betulkah Jokowi mau menjadi cawapresnya Prabowo?

Menurutnya, tawaran tersebut justru merendahkan wibawa dan martabat Jokowi yang pernah menjadi presiden dua periode. Namun tentu saja kembali kepada Presiden Jokowi.

“Saya termasuk mazhab yang ngak yakin Jokowi mau untuk digandeng menjadi wakil presiden Prabowo. Masih jauh  lebih tertarik Jokowi mungkin dengan ide tiga periode, faktanya presiden Jokowi cenderung selama ini membiarkan wacana tersebut terus dipancarkan  “inner circle” pendukung beliau, ditambah lagi presiden Jokowi mengatakan  itu sah-sah saja karena bagian dari suara demokrasi,”paparnya.

Kedua, belum ada jaminan bahwa duet Prabowo-Jokowi diprediksi bakal mulus melenggang ke kursi Istana.

Menurutnya, kalau ke depan “approval rating” terhadap Presiden Jokowi trendnya  terus turun, maka citra, elektabilitas Jokowi ada kemungkinan redup.

Artinya, tingkat kepuasan terhadap kinerja Presiden Jokowi terjadi fluktuasi dan dinamis ke depannya. Ada kemungkinan figur Jokowi tidak lagi sepopuler ketika maju pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019.

“Jangan lupa perilaku pemilih Indonesia itu juga akan kemungkinan jenuh, stagnan, mereka rindu figur-figur yang lebih seger populis, dan membawa harapan baru di dalam visi capresnya,”tukasnya.

Ketiga, pemimpin tidak selamanya dicintai rakyat.

Ada fase antiklimaks dengan ketokohan seseorang. Setiap tokoh dan figur personalisasi seseorang tentu ada momentumnya atau ada masa “expired date” tanggal kedaluarsa.

Kepemimpinan juga begitu. Setiap pemimpin ada momentumnya, ketika melewati zonasi momentumnya, maka kans atau potensi menangnya cenderung menurun.

“Saya termasuk mazhab yang tidak yakin momentum yang sama bisa terulang kembali terhadap Prabowo dan Pak Jokowi, betulkah momentum kans kemenangan mereka sudah selesai,” tutur Pangi.

Kemungkinan selera pemilih cenderung memilih calon presiden yang masih segar, varian menu yang relatif baru,  yang belum mempunyai beban janji apa-apa kepada rakyat.

“Ibarat makan, ada kecenderungan masyarakat ingin gonta-ganti selera menu makan, agar tak bosan dengan varian menu yang itu-itu saja, memilih pemimpin juga soal selera. Saya menilai masyarakat cenderung lebih tertarik dengan figur segar seperti Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan ketimbang Prabowo Jokowi,” bebernya.

Keempat, basis segmen pemilih berbeda.

Menurut Pangi, segmen pemilih Jokowi dan Prabowo berbeda cerugnya. Logika sederhananya bagaimana menyatukan basis dukungan mereka yang dulu sempat terbelah.

Bahkan polarisasi dan keterbelahannya menyebabkan luka yang cukup mengangga, bipolar antara pendukung “kampret” dan “cebong” mengingatkan kembali soal Pilpres 2019 adalah Pemilu paling buruk dalam sejarah  Indonesia.

Saat itu, buzzer dan influencer berhasil membuat masyarakat sebagai bangsa terbelah, hanya karena urusan Pemilu agenda rutinitas 5 tahunan, konsekuensi dampak kerusakannya nyata terhadap tatanan politik kebangsaan, menggoreng “politik identitas” dijadikan sebagai komoditas politik dan “polarisasi isu” yang terbukti merobek tenun kebangsaan Indonesia Raya.

Kelima, wacana duet Prabowo-Jokowi bentuk “keputusasaan”

Pangi menyebut, wacana duet Prabowo-Jokowi merupakan bentuk “keputusaan” harapan dan  ketidakberdayaan menyakinkan masyarakat untuk mendukung wacana Presiden Jokowi untuk 3 (tiga) periode.

Seperti diketahui, wacana Presiden Jokowi 3 periode mendapat perlawanan keras dari rakyat sipil.

Adapun, wacana duet Prabowo-Jokowi dalam rangka untuk “testing the water” dan mencari  alternatif model lain agar Jokowi tetap berkuasa, menurut Pangi, mungkin kaum oligarki yang sedang menikmati kue kekuasaan belum siap “pesta” segera usai.

“Kemudian wacana ini menjadi santer pembicaraan ruang publik atau masyarakat, lalu melihat sejauh mana respons masyarakat dengan narasi duet maut tersebut,”pungkasnya.

Halaman Selanjutnya
Gerindra dan MK

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Nancy Junita
Editor : Nancy Junita
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper