Bisnis.com, JAKARTA - Ki Hadjar Dewantara sudah sangat dikenal oleh publik Indonesia. Ia dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional dan pendiri Perguruan Tamansiswa. Suwardi Suryaningrat – nama lahir Ki Hadjar Dewantara, diakui karena pemikiran-pemikiran cemerlang terkait pendidikan nasional.
Slogan yang dikemukakan olehnya sering berkeliaran di telinga para masyarakat Indonesia, semisal Tut Wuri Handayani. Pelopor pendidikan Indonesia itu lahir pada 2 Mei 1889 dan kini tanggal kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional.
Mengingat jasa-jasanya yang besar untuk Republik Indonesia, namun, pemikiran Ki Hadjar Dewantara sudah banyak yang melupakan.
Padahal, pemikiran Ki Hadjar sangat revolusioner, bahkan melampaui para pemikir lainnya.
Widyawati, Keluarga Besar Ki Hadjar Dewantara menjelaskan, terdapat banyak ajaran-ajaran Ki Hadjar yang telah dibumikan, misalnya Tut Wuri Handayani. Akan tetapi, harus dipahami pula bahwa tujuan dari pendidikan yang dimaksud oleh Ki Hadjar Dewantara adalah satu proses yang tidak diam. Terdapat tiga asas yang dikenalkan Ki Hadjar Dewantara, yaitu kontinyu, konvergen, dan konsentris.
Pengembangan kesinambungan, lanjut Widyawati, adalah mencari sesuatu yang baru di luar Indonesia. Ia menjelaskan, “Contohnya Ki Hadjar mencari dan memelajari pemikir pendidikan dunia, seperti Montessori, Froebel, dan Tagore. Semua pemikiran itu disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pendidikan kita,” kata dia dalam webinar bertajuk “Rekonstruksi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara untuk Masa Depan Pendidikan Nasional” yang diselenggarakan baru-baru ini.
Senada dengan Widyawati, Rano Karno, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Komisi X, menganggap masih banyak pihak yang hanya memahami pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara di permukaannya saja. Rano Karno melanjutkan, jika kita menelaah buku Ki Hadjar Dewantara tentang pendidikan, maka kita menemukan betapa pentingnya Ki Hadjar Dewantara dalam menentukan arah pendidikan Indonesia.
“Artinya, kita mendidikan anak itu untuk menjadi warga negara dengan moral dan pikiran,” tegas Rano.
Sementara itu, bagi Rano, pemikiran Ki Hadjar sudah selaras dengan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 perihal mencerdaskan bangsa. Mencerdaskan bangsa bukan berarti mencerdaskan individu, namun menyesuaikan sistem pendidikan dengan kebutuhan hidup dan penghidupan rakyat Indonesia.
Pemeran sinetron Si Doel ini menegaskan, jangan hanya menjadikan “Merdeka Belajar” sebatas simbol dan metode pembelajaran. Hal tersebut harus dipahami sebagai tujuan pendidikan, yaitu memerdekakan manusia lahir dan batin.
“Pendidikan tidak bisa memerdekakan bila mengabaikan seni budaya dan tuntutan kerja. Pendidikan tidak terperintah dan kita harus belajar dari segala hal,” pungkas Rano.
Sosok besar Ki Hadjar Dewantara seperti yang sudah dibahas sebelumnya sangat lekat dengan tema besar pendidikan. Namun, bagi Iwan Syahril, Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud Ristek, Ki Hadjar justru lebih besar dari pendidikan. Menurutnya, Ki Hadjar adalah tokoh yang melahirkan peradaban. Tidak heran, kalau Universitas Gadjah Mada (UGM) memberikan gelar Honoris Causa tentang kebudayaan kepada Ki Hadjar Dewantara. Ia menerangkan, filosofi yang diyakini Ki Hadjar Dewantara adalah pendidikan sebagai tempat menyemai benih-benih kebudayaan.
Iwan Syahril sedikit menyinggung kiprah Ki Hadjar Dewantara. Ia menjelaskan, sebelum aktif di bidang pendidikan, Ki Hadjar Dewantara terlebih dahul aktif di bidang politik dan pers. Ki Hadjar Dewantara menjadi salah satu pendiri partai politik Indische Partij, sebuah partai yang secara tegas menyatakan Indonesia Merdeka.
Merdeka Belajar, lanjut Iwan, merupakan filosofi yang bersumber dari Ki Hadjar Dewantara. Slogan tersebut bermakna bahwa pendidik harus menjadi teladan, membangkitkan semangat, serta membentuk manusia merdeka. Oleh karenanya, fokus penting pendidikan harus bersumber pada anak.
“Dasar pemikiran dari Ki Hadjar lah yang menentukan Kemendikbud Ristek untuk mengubah Ujian Nasional menjadi Assesment Nasional,” jelas Iwan.
Setali tiga uang dengan pembicara sebelumnya, Najeela Shihab, pendiri Sekolah Cikal menerangkan, kata “Kemerdekaan” merupakan salah satu yang bisa menggambarkan pemikiran Ki Hadjar Dewantara. Ia pun tak lupa mengapresiasi webinar yang diselenggarakan oleh Visi Integritas. Menurutnya, upaya mendiskusikan kembali, menggalakan implementasi dari konsep Ki Hadjar menjadi tujuan yang dapat dilakukan bersama dalam pendidikan.
Najeela pun berujar, “Yang penting dari kemerdakaan adalah murid bukan hanya menjadi duplikasi guru dan kebenaran dari guru.” Tugas kita sebagai pendidik, lanjut Najeela, adalah menuntun tumbuh kembang anak sesuai kodrat pencapaiannya, bukan malah memaksa anak sesuai kemauan pendidik.
Webinar ini pun turut mengundang Sri Wahyaningsih, Pendiri Sanggar Anak Alam Yogyakarta. Senada dengan Najeela, Sri Wahyaningsih sepakat dengan pemikiran Ki Hadjar Dewantara tentang kemerdekaan peserta didik. Namun, terdapat satu hal dalam pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang harus digarisbawahi, yaitu tentang trisentris pendidikan.
“Trinsentris pendidikan, yakni keluarga, perguruan, dan masyarakat merupakan satu kesatuan yang utuh dalam pendidikan,” jelas Wahya.
Jimmy Ph Paat, Aktivis Pendidikan, menceritakan pengalamannya semasa menjadi mahasiswa aktif di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Jakarta pada 1975. Selama Jimmy berkuliah, ia secara serius mengikuti dan menelaah kuliah-kuliah yang membahas pemikiran pendidikan Ki hadjar Dewantara. Namun, banyak pengajar di IKIP Jakarta yang mengabaikan Ki Hadjar Dewantara.
“Dalam buku-buku kuliah pedagogik, pemikiran Ki Hadjar Dewantara hanya dibahas satu halaman saja. Ini jelas pengabaian, bahkan pembunuhan terhadap pemikiran Ki Hadjar Dewantara,” pungkasnya.