Bisnis.com, JAKARTA - Sejumlah pekerjaan legislasi yang jadi kebutuhan dan ditunggu rakyat belum juga dituntaskan DPR. Seperti revisi UU Informasi dan Transaksi Eletronik (ITE), RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) dan RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP).
Pengamat politik dari PARA Syndicate Ari Nurcahyo mengatakan, masyarakat resah dan mencium kesan ‘tanam pilih’ legislasi yang dilakukan DPR dan pemerintah.
Ari melihat beberapa undang-undang yang amat mendesak bagi kepentingan rakyat, seperti revisi UU ITE, RUU TPKS dan RUU PDP seolah-olah dikesampingkan karena kesannya tidak mendapat tempat prioritas dalam pembahasan sidang DPR, dibandingkan rancangan undang-undang (RUU) yang dipesan pemerintah (penguasa) bisa cepat proses pembahasannya.
“Apalagi melihat maraknya kasus kekerasan seksual belakangan ini. Mengapa UU yang justru dibutuhkan rakyat seperti RUU TPKS ini malah lambat pembahasannya,” ujar Ari yang juga Direktur PARA Syndicate dalam diskusi bertajuk “Rakyat Menagih DPR: Revisi UU ITE, RUU TPKS, RUU PDP” pada Kamis (24/3/2022).
Diskusi juga menghadirkan Willy Aditya selaku Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI; Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto, dan Lucius Karus, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi).
Lucius membenarkan adanya pilah-pilih legislasi undang-undang di DPR. Seperti RUU Ibu Kota Negara (IKN) dan Omnibus Law Cipta Kerja yang substansinya menguntungkan penguasa prosesnya jauh lebih cepat dibanding tiga undang-undang di atas.
“Ini ironi DPR. Sepertinya tidak ada satu pun RUU yang mementingkan rakyat dipersembahkan oleh DPR,” ujarnya.
Lucius juga mengaitkan proses yang cukup lama tersebut dengan kepentingan politik di DPR, sehingga masukan dari masyarakat hanya dianggap sebagai formalitas belaka, tanpa ada komitmen kuat untuk mengawalnya.
”Mereka hanya menunjukan diri bekerja untuk rakyat, seolah RUU hanya menjadi komoditas politik,” ucapnya.
Lucius meramalkan bahwa ketiga RUU dan UU yang menjadi fokus diskusi jika tidak dibahas pada masa sidang DPR tahun ini, kemungkinan besar akan dibahas berdekatan dengan kampanye pemilu pada tahun 2023 mendatang.
Saat mendekati masa pemilu, maka akan menguatkan kepentingan politis para wakil rakyat.
Senada Ari dan Lucius, keresahan juga datang dari Sulistyowati Irianto. Menurutnya, hukum di Indonesia seperti berbalik. Bukan pemerintah yang tunduk kepada hukum, namun hukum yang tunduk pada kemauan pemerintah.
Hal tersebut bukan tanpa alasan, Sulistyowati melihat bahwa hukum yang ada hanya melegitimasi apa yang diinginkan pemerintah.
Dia menyinggung pembahasan RUU TPKS yang terus berlarut-larut, padahal kekerasan seksual di Indonesia sudah berada dalam tahap darurat.
Kekerasan seksual ini adalah kejahatan kemanusiaan. Selama ini hukum lebih banyak berbasis positivisme hukum, belum banyak berperspektif perempuan.
Artinya, hukum masih banyak mengabaikan pengalaman dan realitas perempuan, tegas Sulistyowati.
“Sangat disayangkan kalau RUU TPKS tidak segera disahkan, kita masih menggunakan KUHAP yang memasukan kekerasan seksual sebagai kejahatan kesusilaan, bukan kejahatan kemanusiaan,” ujarnya.
Willy Aditya, Wakil Ketua Baleg DPR RI, menyebut bahwa apresiasi dari publik terhadap kinerja anggota DPR dan fraksi-fraksi di DPR masih kurang.
Termasuk fraksi-fraksi yang menginisiasi ketiga UU dan RUU yang dibahas dalam diskusi itu.
Dia juga menyayangkan beban kesalahan besar dialamatkan kepada DPR, padahal dalam proses pembuatan UU antara eksekutif dan legislatif sama-sama berperan penting.
“Problemnya tidak hanya di DPR, namun juga di pemerintah, seperti RUU PDP yang terjadi tarik-menarik antar pemerintah dan DPR,” ujarnya.