Selain itu, BPJS Kesehatan seringkali menaikkan iuran bulanannya kepada warga yang menjadi peserta, namun aspek pemanfaatan BPJS Kesehatan terus-menerus dikoreksi.
"Jika cara kerjanya seperti itu teru. Bagaimana masyarakat bisa tertarik untuk jadi peserta BPJS Kesehatan," tuturnya dalam keterangan resminya di Jakarta, Selasa (1/3/2022).
Fadli juga mengkritisi Presiden Joko Widodo yang telah menandatangani Inpres Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional pada 6 Januari 2022 kemarin.
Menurutnya, Inpres tersebut secara tidak langsung memaksa masyarakat agar menjadi peserta BPJS Kesehatan. Pasalnya, kata Fadli, untuk mengurus semua pelayanan publik kini harus menggunakan BPJS Kesehatan sebagai syarat.
Pelayanan publik yang saat ini menggunakan BPJS Kesehatan antara lain mengurus SIM, STNK, SKCK, izin usaha, jual-beli tanah dan apartemen, naik haji, umrah hingga mengurus keimigrasian.
"Inpres ini mensyaratkan bahwa kepesertaan BPJS Kesehatan menjadi syarat wajib dalam mengurus sejumlah pelayanan publik," katanya.
Fadli mencatat bahwa aturan BPJS Kesehatan juga seringkali berubah.
Dia menjelaskan bahwa pada Oktober 2019, Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 yang mengatur kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Kemudian, pada April 2020, Perpres itu dinyatakan tidak berlaku lagi dan dikembalikan ke Peraturan Presiden lama yaitu Nomor 82 Tahun 2018 ihwal tarif awal.
"Lalu pada Mei 2020, Presiden kembali keluarkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 yang merevisi lagi iuran kenaikan BPJS," ujarnya.
Fadli menuding peraturan BPJS Kesehatan yang berubah-ubah tersebut adalah cara pemerintah untuk mengumpulkan dana publik.
"Jadi isu pokoknya bukanlah untuk melindungi dan menjamin hak masyarakat, tetapi negara sedang menjadikan rakyatnya sebagai sapi perah untuk menjaga keseimbangan moneter dan fiskal," tutur Fadli.