Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Revisi UU Kepailitan, Kewenangan Kreditur Ajukan PKPU Bakal Dianulir

Amandemen UU dan PKPU Kepailitan juga akan menganulir substansi dalam Pasal 222 ayat 3 soal kewenangan kreditur dalama mengajukan PKPU
Pailit/Ilustrasi-repro
Pailit/Ilustrasi-repro

Bisnis.com, JAKARTA -- Kasus penundaan kewajiban pembayaran utang atau PKPU yang membelit PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) memperlihatkan adanya celah dalam rezim Undang-Undang Kepailitan dan PKPU yang berlaku saat ini.

Rezim Kepailitan dan PKPU yang berlaku masih sangat sederhana, karena tidak ada threshold atau ambang batas nilai utang yang di PKPU-kan. 

Pasal 222 ayat 3 hanya mengatur bahwa kreditur bisa mengajukan PKPU jika mereka memperkirakan bahwa debitur tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih. Akibatnya, seseorang atau korporasi dengan mudah digugat PKPU ke pengadilan.

Dalam kasus Sritex, emiten tekstil itu telah menyandang status PKPU sejak 6 Mei 2021. Gugatan PKPU diajukan oleh CV Prima Karya. Sementara, nilai kewajiban yang menjadi alasan gugatan hanya Rp5,5 miliar.

Dosen Hukum Kepailitan Universitas Indonesia yang merupakan Ketua Tim Penyusun Naskah Akademik Revisi UU Kepailitan, Teddy Anggoro, mengatakan bahwa saat ini naskah akademik amandemen UU Kepailitan tengah dibahas. Rencananya, amandemen UU Kepailitan akan mengubah sejumlah substansi.

Pertama, syarat PKPU akan ditambah jika sebelumnya 1 kali utang, ke depan akan ditambah menjadi 2 kali utang jatuh tempo. Kedua, tim penyusun naskah akademik juga akan menentukan ambang batas minimum utang yang dimohonkan PKPU ke pengadilan.

Ketiga, amandemen UU Kepailitan juga akan menganulir substansi dalam Pasal 222 ayat 3 soal kewenangan kreditur bisa mengajukan PKPU. Teddy berpendapat kewenangan mengajukan PKPU adalah hak dari debitur bukan kreditur.

"Nanti di RUU amandemen kewenangan kreditur mengajukan PKPU akan saya hilangkan pak. Jadi kedepan enggak ada lagi debitur digugat PKPU sedangkan dia masih mampu membayar utangnya," katanya dikutip, Rabu (19/5/2021).

Sebagai informasi, Sritex tercatat memiliki MTN Sritex Tahap III Tahun 2018 sebesar US$25 juta. Berdasarkan laporan per akhir 2020, MTN ini memiliki tingkat suku bunga 5,8% per tahun yang dibayarkan setiap enam bulan sekali.

Emiten tekstil ini tidak bisa membayar MTN jatuh tempo lantaran tengah berstatus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Baru-baru ini, Hakim Pengadilan Negeri (PN) Semarang telah mengabulkan gugatan PKPU CV Prima Karya kepada Sritex. Dengan demikian, Sritex dan tiga anak usahanya yakni Sinar Pantja Djaja, Bitratex Industries, dan Primayudha Mandirijaya resmi menyandang status PKPU sementara untuk 45 ke depan.

Dalam catatan Bisnis, CV Prima Karya adalah salah satu vendor yang terlibat dalam renovasi bangunan di Grup Sritex. Gugatan PKPU diajukan atas nilai utang yang belum dibayarkan oleh pihak Sritex senilai Rp5,5 miliar.

Manajemen Sritex dalam sebuah keterbukaan informasi di BEI memastikan bahwa pihaknya berupaya menyelesaikan permasalahan yang ada dengan seluruh mitra usaha sesuai  koridor hukum yang berlaku.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper