Bisnis.com, JAKARTA - Negosiasi antara Amerika Serikat dan Iran terkait perjanjian nuklir 2015 masih terganjal banyaknya perbedaan pendapat. Kondisi itu membuat optimisme dari negosiasi justru kian kendur.
Dilansir Bloomberg, Kamis (22/4/2021), seorang pejabat senior Departemen Luar Negeri tanpa ingin disebut namanya mengatakan kedua belah pihak lebih dekat ke awal negosiasi daripada ke akhir. Pejabat itu berbicara setelah putaran kedua pembicaraan di Wina minggu lalu di mana AS dan Iran tidak bertemu secara langsung tetapi bernegosiasi melalui mitra Eropa, Rusia, dan China.
Di lain sisi, Presiden Iran Hassan Rouhani mengatakan pembicaraan telah selesai 60 -70 persen dan kedua belah pihak bakal segera menghidupkan kembali Rencana Aksi Komprehensif Bersama yang membatasi ruang lingkup program nuklir Iran sebagai ganti untuk pelonggaran sanksi ekonomi.
Seperti diketahui, Presiden Donald Trump menarik diri dari perjanjian nuklir pada 2018 dan menyebutnya sebagai perjanjian terburuk. Trump juga menerapkan sejumlah restriksi dengan Iran, termasuk penjualan minyak.
Iran kemudian menanggapinya dengan meningkatkan produksi uranium di luar batas yang disepakati, tetapi bersikeras tetap menjadi pihak dalam perjanjian nuklir.
Hingga saat ini, pemerintahan Biden masih bungkam soal sanksi mana yang akan dilonggarkan. Namun, pembatasan terkait teror yang diberlakukan pada akhir pemerintahan Trump kemungkinan akan menjadi salah satu target.
Baca Juga
Pejabat itu juga mengatakan kedua belah pihak telah membuat beberapa kemajuan dalam pembicaraan dan mengakui bahwa AS terbuka untuk berbagai jenis kondisi sehingga kedua negara dapat kembali mematuhi kesepakatan tersebut.
Pada masa lalu, Presiden Joe Biden dan timnya berpendapat bahwa AS akan kembali patuh hanya setelah Iran melakukannya.
Pembicaraan Wina merupakan upaya negara-negara Eropa untuk merundingkan kembalinya AS kepada kesepakatan 2015 yang mengekang aktivitas atom Iran dengan imbalan keringanan sanksi, sebelum Presiden Donald Trump membatalkannya tiga tahun lalu.