Bisnis.com, JAKARTA - Upaya pemerintah mengejar target kekebalan kelompok (herd immunity) Covid-19 pada 2022 nampaknya tak berjalan mulus. Selain lambatnya laju vaksinasi harian, keraguan hingga penolakan masyarakat terhadap vaksin tersebut juga ikut menjadi persoalan.
Karena keraguan hingga penolakan terhadap vaksin Covid-19 sebagian besar justru datang dari kalangan muda, baik generasi milenial maupun generasi Z. Kemampuan menyerap lebih banyak informasi secara cepat melalui teknologi tak serta merta menghilangkan keraguan atau keengganan mereka.
Salah satu di antaranya adalah Handry, mahasiswa salah satu perguruan tinggi negeri di Malang, Jawa Timur. Dia mengaku masih ragu-ragu apabila harus disuntik vaksin Covid-19 dalam waktu dekat.
“Ragu-ragu, takut sama efek sampingnya. Kalau nanti-nanti, setelah banyak yang divaksin dan aman-aman aja baru mau,” katanya kepada Bisnis baru-baru ini.
Bahkan, keraguan tersebut juga datang dari kalangan tenaga medis yang seharusnya mendapatkan giliran vaksinasi paling awal. Seorang sumber yang bekerja sebagai perawat muda di salah satu rumah sakit swasta di Surabaya, Jawa Timur mengaku enggan menerima vaksin Covid-19 lantaran proses pengembangannya yang terbilang singkat.
“Untungnya aku nggak dapat karena sempat kena [Covid-19] tanpa gejala. Kalau disuruh aku ya ragu atau malah nolak karena prosesnya itu lho cepat banget nggak kaya vaksin lain. Nggak ada setahun,” ujarnya.
Baca Juga
Keraguan yang mereka ungkapkan sejalan dengan hasil survei yang dilakukan oleh Katadata Insight Center terhadap 5.963 responden berusia 19-38 tahun di 34 provinsi di seluruh Indonesia. Survei tersebut menunjukkan bahwa semakin muda usia, jumlah responden yang belum bersedia divaksinasi Covid-19 makin meningkat.
Manajer Riset Katadata Insight Center Vivi Zakbie menyebut 45,9 persen responden yang tergolong sebagai generasi milenial menyatakan mereka belum bersedia untuk divaksinasi. Sementara pada kelompok yang lebih muda atau generasi Z jumlahnya makin bertambah menjadi 51,7 persen.
“Kondisi ini berbeda dengan kelompok yang berusia lebih tua seperti generasi X dan baby boomer. Mereka cenderung lebih banyak yang mau divaksinasi,” katanya pada Jumat (12/3/2021).
Sebagai catatan, responden dari generasi X yang belum bersedia divaksinasi 34,9% saja, sementara generasi baby boomer jauh lebih sedikit hanya 23,7 persen. Dengan demikian dari keseluruhan responden 54% diantaranya bersedia menerima vaksin Covid-19.
Lebih lanjut, Vivi menjelaskan faktor kekhawatiran terhadap efek samping menjadi alasan terbesar mengapa masih banyak generasi muda yang enggan divaksin Covid-19. Diikuti oleh alasan keamanan dan ketidakpercayaan terhadap efektivitas vaksin.
“Mereka juga takut menjadi kelinci percobaan vaksin dan percaya masih ada alternatif lain untuk mengakhiri pandemi selain lewat vaksinasi,” ungkapnya.
Walaupun demikian, hasil survei tersebut menurut Vivi jauh lebih baik dibandingkan dengan survei sebelumnya pada Agustus-September 2020. Kala itu, hanya 27,5 persen yang bersedia divaksinasi.
“Keyakinan terhadap keamanan dan efektivitas vaksin jadi faktor utama yang menentukan keputusan orang belum bersedia mengikuti vaksinasi. Kala itu, uji klinis belum selesai dan belum ada izin dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan),” tuturnya.
Masih tingginya angka keraguan masyarakat terhadap vaksin Covid-19 tak terlepas dari komunikasi publik pemerintah yang tidak mampu meyakinkan masyarakat dengan informasi yang transparan. Selain itu, penyampaian informasi yang tidak disesuaikan dengan latar belakang target juga ikut menjadi persoalan.
Menurut Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane, penyampaian informasi yang diberikan kepada masyarakat berpendidikan tinggi harus dibedakan dengan kelompok masyarakat lain yang awam.
Informasi yang disampaikan kepada masyarakat dengan latar belakang pendidikan tinggi tentunya harus detail, transparan, dan merujuk pada sumber terpercaya. Sementara untuk masyarakat awam informasi yang disampaikan haruslah sesederhana mungkin agar mudah dimengerti.
Kemudian yang tak kalah penting adalah penyampaian informasi yang masif, khususnya melalui media sosial. Pasalnya, masyarakat Indonesia punya kebiasaan membagikan informasi yang dinilai sensasional tanpa memastikan kebenarannya atau hanya membaca sebagian isinya.
Lambatnya Laju Vaksinasi
Co-Founder Kawal Covid-19 Elina Ciptadi menilai target pemerintah mencapai kekebalan kelompok pada 2022 tidak akan tercapai apabila laju vaksinasi harian tak ditingkatkan. Menurutnya, laju vaksinasi harian di Tanah Air sejauh ini hanya kencang di beberapa kelompok penerima saja.
“Saat ini memang terjadi percepatan, naik dua kali lipat di level 200.000 orang per hari, baik dosis pertama maupun kedua. Tetapi itu untuk pelayan publik saja, untuk kelompok lansia yang justru paling berisiko malah tertinggal,” katanya.
Kencangnya laju vaksinasi bagi pelayan publik tak terlepas dari proses pendaftaran yang bisa dilakukan secara luring lewat instansi tertentu. Tentunya hal tersebut menjadi kelebihan tersendiri lantaran mampu menjangkau lebih banyak kelompok masyarakat yang tidak melek teknologi.
“Pendaftaran vaksin lansia saat ini dibuka secara online. Padahal lebih banyak lansia yang tidak melek teknologi. Tentunya ini jadi tantangan untuk mengejar target herd immunity,” tegasnya.
Sementara itu, Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Laura Navika Yamani mengatakan apabila pemerintah ingin mencapai kekebalan kelompok pada 2022 seperti target yang ditetapkan, maka dosis vaksin Covid-19 yang diberikan ke masyarakat minimal harus 1 juta dosis per harinya.
Laura menjelaskan, dari keseluruhan penduduk Indonesia sebanyak 70% diantaranya atau 181.554.465 orang harus divaksin. Dengan pemberian dosis sebanyak dua kali per satu orang, maka total dosis vaksin yang diberikan adalah 363.108.930 dosis.
Apa yang disampaikan oleh Elina dan Laura, sebenarnya sudah diamini oleh Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono.
Melalui unggahan video di kanal YouTube Badan Nasional Penanggulangan Bencana , dia menyebut target kekebalan kelompok pada 2022 tidak akan tercapai apabila jumlah penerima vaksin kurang dari 1 juta orang setiap harinya.