Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah militer Myanmar memecat pewakilan negara itu di Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah dia mengkritik kudeta baru-baru ini dan membela Aung San Suu Kyi.
Tak berhenti sampai disitu, militer juga memperluas tindakan kerasnya terhadap perbedaan pendapat dengan menangkap jurnalis dan ratusan pengunjuk rasa.
Pada pertemuan informal di New York pada Jumat lalu (26/2/2021), perwakilan tetap Myanmar untuk PBB Kyaw Moe Tun meminta komunitas internasional untuk mengambil tindakan sekuat mungkin untuk membalikkan kudeta 1 Februari, menghentikan penindasan militer dan mengembalikan negara ke tangan demokrasi.
"Dia [Kyaw Moe Tun] gagal mengikuti perintah dan instruksi negara, melakukan pengkhianatan, menunjukkan kesetiaannya kepada komite parlemen yang dipimpin oleh partai Suu Kyi, dan menyalahgunakan kekuasaan otoritatifnya sebagai duta besar Myanmar," kata Kementerian Luar Negeri dalam sebuah pernyataan, dilansir Bloomberg, Minggu (28/2/2021).
Sementara itu, polisi antihuru hara menangkap lima jurnalis di Yangon, salah satunya adalah wartawan Associated Press.
MRTV yang dikelola negara melaporkan polisi antihuru hara menangkap 479 pengunjuk rasa di seluruh negeri pada Sabtu kemarin, sementara Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik mengatakan 854 demonstran telah ditahan sejauh ini.
Perebutan kekuasaan militer telah memicu protes sengit selama berminggu-minggu di dalam negeri dan memicu kecaman internasional. Ratusan ribu pengunjuk rasa telah mengabaikan larangan pertemuan publik, yang menyebabkan bentrokan dengan pasukan keamanan yang telah menewaskan segelintir pengunjuk rasa.
Pemerintahan Biden telah mengumumkan sanksi yang menargetkan para pemimpin militer negara itu.
Menteri luar negeri Asia Tenggara membuat pengaturan untuk bertemu minggu ini untuk membahas situasi tersebut. Sebagian besar anggota kelompok 10 negara telah menyatakan kesediaan untuk bergabung, dan menteri luar negeri Myanmar yang ditunjuk militer, telah diminta untuk berpartisipasi.
Polisi di kota-kota besar termasuk Yangon, Mandalay dan Monywa pada Sabtu menangkap pengunjuk rasa yang berkumpul di jalan-jalan. Di beberapa tempat, tembakan dilepaskan dan gas air mata dikerahkan untuk membubarkan massa.
Suu Kyi ditangkap dalam kudeta tersebut dan menghadapi kemungkinan hukuman penjara atas tuduhan mengimpor walkie-talkie secara ilegal dan melanggar pembatasan Covid-19 saat berkampanye tahun lalu.
Pada Jumat lalu (26/2/2021), perwakilan Myanmar di PBB mendesak masyarakat internasional untuk tidak menerima rezim militer, dan menyerukan pengakuan atas hasil pemilihan umum November di mana Liga Nasional untuk Demokrasi yang dipimpin Suu Kyi menang telak.
"[Saya meminta] Semua tindakan sekuat mungkin untuk menghentikan tindak kekerasan dan brutal yang dilakukan oleh pasukan keamanan terhadap demonstran damai dan segera mengakhiri kudeta militer," katanya.
Liga Nasional untuk Demokrasi berencana untuk membentuk pemerintahan paralel yang dapat terlibat dengan komunitas internasional, menurut seorang pejabat partai yang sedang dalam pelarian.