Bisnis.com, JAKARTA -- Konsorsium Riset dan Inovasi Penanganan Covid-19 sebagai sarana kolaborasi kepakaran dinilai semakin meningkatkan optimalisasi pemanfaatan ilmu pengetahuan sebagai bekal dalam menghadapi tantangan yang tidak terduga (emerging issue).
Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/Kepala BRIN) Bambang Brodjonegoro mengatakan, riset dan inovasi akan terus memiliki peranan besar di masa depan, khususnya pada pemulihan pascapandemi.
Untuk itu, sambungnya, kolaborasi sangat dibutuhkan guna menghasilkan penelitian hingga memastikan manfaatnya sampai ke masyarakat. Upaya ini dilakukan dengan mengawinkan peran seluruh stakeholder mulai dari pemerintah pusat dan daerah, perguruan tinggi, balitbangjirap swasta dan pemerintah, dunia industri, hingga organisasi masyarakat sipil (OMS).
Konsep kolaborasi yang disebut sebagai triple helix ini dinilai sebagai dasar membangun ekosistem riset dan inovasi di Indonesia. Terlebih kolaborasi dengan dunia usaha yang menjadi prioritas urgensi saat ini.
“Bagaimanapun dalam ekosistem riset dan inovasi perlu terjadi transformasi, dari dominasi peran negara, baik secara sumber daya dan anggaran, ke dominasi peran dunia usaha secara bertahap,” ujarnya dalam webinar Diskusi Kebijakan: Kolaborasi Kepakaran dan Riset Dasar untuk Lompatan Inovasi, Selasa (12/1/2011).
Menurutnya, jika triple helix antara pemerintah, peneliti, dan dunia usaha tidak bisa dibangun dengan baik, maka akan sangat mustahil kita bisa melahirkan ekosistem riset dan inovasi yang kuat.
Selama masa pandemi ini, Bambang menilai bahwa kolaborasi triple helix antara peneliti, pemerintah dan dunia usaha bisa berjalan lancar. Salah satu contohnya adalah produksi alat tes Covid-19 yang dibuat oleh industri dalam negeri. Padahal, ketika awal pandemi, alat tes Covid-19 masih diimpor.
“Ini menjadi contoh bahwa di masa pandemi, peneliti sudah bisa berkolaborasi dengan dunia usaha yang selama ini lebih memprioritaskan keuntungan dan juga dengan bantuan dari pemerintah,” tuturnya.
Proses kolaborasi berdasarkan kepakaran akan memudahkan penanganan emerging issue karena dapat diselesaikan dalam waktu cepat.
Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI, Ibu Tri Nuke Pudjiastuti mengatakan keterwakilan ragam dari perspektif yaitu kepakaran dan pemangku kepentingan itu menjadi sangat penting sekali.
Hal lain yang masih perlu diperbaiki ialah kolaborasi dengan daerah. Sebab masih ada balitbangjirap di daerah yang diisi oleh nonpeneliti. Hal ini disebabkan cara kerja yang masih seperti birokrat. Imbasnya membuat balitbangjirap sulit untuk menghasilkan riset berkualitas tinggi dan memiliki kepakaran sehingga sering kali hasil penelitiannya tidak dipakai oleh pemangku kebijakan.
Sementara itu, Direktur Tata Ruang, dan Penanganan Bencana Bappenas, Sumedi Andono Mulyo mengatakan bahwa peran pemerintah harusnya pada fasilitasi transformasi sosial, budaya dan ekonomi di daerah. Sebab, centre of excellence itu mustinya terjadi di daerah.
“Yang kedua, selain fasilitasi adalah penguatan suatu rantai nilai dalam kerangka ekonomi (circular economy) dengan berdasarkan kaidah pembangunan berkelanjutan. Nanti kami elaborasi itu,” katanya.
Lebih lanjut, perguruan tinggi berperan besar untuk membantu memperkuat kualitas riset dan inovasi di daerah. Terlepas dari belum banyak lembaga penelitian pemerintah atau nonpemerintah yang memiliki kepakaran kuat pada suatu bidang, perguruan tinggi di Tanah Air diyakini memiliki bibit-bibit kepakaran isu strategis.