Bisnis.com, JAKARTA - Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron memberikan klarifikasi terkait pengenaan pasal suap kepada Menteri Sosial (Mensos) Juliari P Batubara dan sejumlah pejabat Kementerian Sosial (Kemensos) yang ditangkap KPK terkait "pungli" bantuan sosial.
Padahal jika merujuk ke Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) KPK sebenarnya bisa mengenakan sangkaan hukuman mati kepada para tersangka.
Pasal itu menjelaskan bahwa penyelenggara negara yang melakukan tindak pidana korupsi dalam keadaan tertentu, termasuk kondisi darurat covid-19, dapat dikenakan pidana mati .
"Karena faktanya memang yang disebut memperkaya diri secara yang kemudian merugikan negara itu, adalah peristiwa atau perbuatan dari penyelenggara negara yang pada saat mengucurkan keuangan negara dari APBN," kata Ghufron dikutip melalui saluran Youtube Indonesia Lawyers Club, Jumat (11/12/2020).
Penjelasan Ghufron tersebut sebenarnya tak menjawab pertanyaan seputar pengenaan pasal suap terhadap Mensos Juliari yang juga Wakil Bendahara Umum PDI Perjuangan itu.
Meskipun, dia tetap berargumentasi bahwa duit yang diterima oleh Juliari semula konteksnya dari rekanan. Artinya bukan langsung dari APBN seperti yang diatur dalam Pasal 2 UU Tipikor.
"Kasus ini APBN mengucur ke penyelenggara negara kemudian ke rekanan, rekanan ke penyelenggara negara, itu kickback itu suap ataupun gratifikasi," jelasnya.
Seperti diketahui penetapan Mensos Juliari P Batubara sebagai tersangka bermula dari proyek pengadaan bansos penanganan Covid 19 berupa paket sembako di Kementerian Sosial RI tahun 2020 dengan nilai sekitar Rp5,9 triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan dengan 2 periode.
Juliari diketahui menunjuk Matheus Joko Santoso (MJS) dan Adi Wahyono (AW) sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukkan langsung para rekanan.
Penyidik lembaga antikorupsi menduga dalam penunjukkan tersebut disepakati adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kementerian Sosial melalui MJS.
"Untuk fee tiap paket Bansos di sepakati oleh MJS dan AW sebesar Rp10 ribu per paket sembako dari nilai Rp300 ribu perpaket Bansos," demikian bunyi penjelasan resmi KPK.
Setelah penunjukkan tersebut, MJS dan AW pada bulan Mei sampai dengan November 2020 membuat kontrak pekerjaan dengan beberapa suplier sebagai rekanan yang di antaranya AIM, HS dan juga PT RPI yang diduga milik MJS.
KPK menyebut penunjukkan PT RPI sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui Mensos dan disetujui oleh AW. Pada pelaksanaan paket Bansos sembako periode pertama diduga diterima fee Rp12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh MJS kepada JPB melalui AW dengan nilai sekitar Rp8,2 miliar.
Pemberian uang tersebut, menurut KPK, selanjutnya dikelola oleh EK (Eko) dan SN selaku orang kepercayaan JPB untuk digunakan membayar berbagai keperluan pribadi menteri dari PDI Perjuangan tersebut.
"Untuk periode kedua pelaksanaan paket Bansos sembako, terkumpul uang fee dari bulan Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sejumlah sekit Rp8,8 miliar yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan Mensos," tukasnya.