Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Korea Utara Sembunyikan Kamp Karantina Covid-19 di Perbatasan China?

Setelah hampir setahun memasuki keadaan darurat global, semakin banyak muncul laporan dan kesaksian yang belum diverifikasi yang berasal dari dalam negara yang terkenal rahasia itu dan memicu keraguan tentang klaim tidak ada COVID di Korea Utara.
/wikipedia
/wikipedia

Bisnis.com, JAKARTA - Sejak awal pandemi, Korea Utara telah mengklaim sebagai salah satu dari segelintir negara yang tidak memiliki satu kasus pun Covid-19.

Setelah hampir setahun memasuki keadaan darurat global, semakin banyak muncul laporan dan kesaksian yang belum diverifikasi yang berasal dari dalam negara yang terkenal rahasia itu dan memicu keraguan tentang klaim tidak ada COVID di Korea Utara.

Tim Peters, seorang aktivis yang menjalankan Helping Hands Korea nirlaba yang berbasis di Seoul, mengatakan sebuah sumber di Utara telah melaporkan pembentukan "kamp karantina" di kota-kota dekat perbatasan dekat dengan China di mana pengabaian medis dan kelaparan biasa terjadi.

“Salah satu informasi yang lebih mengkhawatirkan yang kami terima adalah bahwa pemerintah DPRK sama sekali tidak menyediakan makanan atau obat bagi mereka yang ditempatkan di sana,” ujar Peter seperti dikutip dari scmp.com.

“Jadi, semua tergantung pada keluarga dari warga yang dikarantina untuk datang ke pinggir kamp dan membawa makanan untuk menjaga kerabat yang dikarantina tetap hidup serta memberikan bantuan kesehatan apa pun yang bisa mereka kerahkan, entah itu membeli obat yang dijual di pasar atau bahkan pengobatan rumahan herbal yang dikumpulkan dari lereng gunung. Sumber saya menunjukkan banyak di kamp ini telah meninggal, tidak hanya karena pandemi tetapi juga karena kelaparan dan hal terkait lainnya," tambahnya

LSM yang diikuti oleh Peter telah mengirimkan persediaan medis dan lainnya ke Korea Utara, mengatakan tindakan pengabaian yang dilaporkan itu cocok dengan kesaksian para korban yang selamat dari kamp-kamp penjara di negara itu, di mana “menyediakan makanan dalam jumlah yang sangat sedikit” adalah rutin dan banyak narapidana yang menyerah dengan kelaparan tanpa dukungan dari keluarga mereka.

"Singkatnya, menurut saya situasi yang berkaitan dengan Covid-19 di Korea Utara sangat serius," ujarnya.

Terdapat informasi dari sumber yang tidak ingin menyebutkan namanya yang merupakan seorang aktivis hak asasi manusia lain yang berbasis di Korea Selatan mengatakan dia telah mengetahui pihak berwenang di negara tersebut baru-baru ini membakar sejumlah mayat setelah dugaan kasus Covid-19 yang melibatkan seorang pedagang yang melakukan bisnis dengan China di bawah radar.

"Otoritas inspeksi pusat datang dari Pyongyang dan membakar semua jenazah," ujar aktivis itu, yang mengatakan dia memperoleh informasinya dari seorang penyiar pembelot di Utara. “Penduduknya sangat cemas.”

Meskipun terdapat banyak informasi yang datang tentang kondisi yang terjadi, tidak ada pihak yang dapat mengkonfirmasi informasi yang diterimanya tentang situasi pandemi di negara itu.

Memperoleh informasi yang akurat dari dalam Korea Utara sangat menantang karena terhalang peran keluarga Kim yang berkuasa atas informasi dan media yang beredar secara seragam mengikuti garis resmi pemerintah. Banyak laporan media asing tentang perkembangan internal negara berdasarkan kesaksian pembelot atau sumber internal yang tidak disebutkan namanya terbukti dibesar-besarkan atau salah di masa lalu.

Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un berulang kali memuji keberhasilan negaranya dalam mengatasi pandemi, dan pada bulan lalu mengatakan pada parade militer besar di Pyongyang bahwa dia bersyukur tidak ada seorang pun di negara itu yang tertular virus.

Bulan lalu, Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan kepada situs berita spesialis NK News bahwa terdapat hampir 3.400 warga Korea Utara telah dites COVID-19 pada pertengahan September yang merupakan sebagian kecil dari populasi sekitar 25 juta orang dengan semua hasil negatif.

Korea Utara secara efektif menutup perbatasannya sejak Januari, dan pada awal tahun telah menutup sementara sekolah dan telah mengisolasi ribuan warga. Pada Juli, pihak berwenang melaporkan dugaan kasus virus corona di Kaesong, yang mendorong Kim menguncinya.

Analis dan pemerintah asing termasuk Amerika Serikat dan Jepang telah lama menyatakan keraguan tentang jumlah kasus COVID yang resmi di Korea Utara mengingat perdagangannya yang luas dengan China, yang ditambah dengan kurangnya kapasitas pengujian, dan sifat rezim Kim yang sangat tertutup dan paranoid.

Pyongyang tidak melaporkan kasus Ebola, Sars atau Mers selama wabah baru-baru ini yang terjadi di seluruh wilayah, dan pada tahun 1990-an menyembunyikan dari komunitas internasional mengenai tingkat kekurangan pangan yang diyakini telah menewaskan antara 240.000 dan 3,5 juta orang.

Hanya segelintir negara, kebanyakan dari negara-negara Kepulauan Pasifik yang terpencil, yang melaporkan tidak ada kasus Covid-19, yang telah melampaui angka 45 juta infeksi yang dikonfirmasi di seluruh dunia.

Kee Park, seorang dosen di Harvard Medical School yang telah melakukan banyak perjalanan kemanusiaan ke Korea Utara, mengatakan dia tetap merasa "masuk akal" bahwa Korea Utara bisa mencegah virus itu.

"Seperti yang Anda ketahui, negara itu pada dasarnya telah mengunci diri pada awal Januari dan provinsi-provinsi yang berbatasan dengan China tidak memiliki banyak kasus," ujar Park. “Kami juga dapat melihat pembatasan dari pergerakan domestik dan pembukaan sekolah sebagai hal pendukung dari tingkat kepercayaan mereka pada kemampuan mereka untuk mencegah virus,”

Tetapi Park mengatakan negara itu dapat hancur jika terjadi wabah besar, sebuah risiko yang diperburuk oleh isolasi internasionalnya. Sanksi PBB yang ditujukan pada program nuklir dan rudal Korea Utara mencegah impor peralatan tertentu seperti ambulans, alat sterilisasi, dan mesin X-ray tanpa izin khusus, meskipun para pejabat telah memberikan keringanan kepada kelompok bantuan atas dasar kasus yang terjadi sejak dimulainya pandemi.

“Jika virus masuk, beberapa perkiraan menyebutkan terdapat kemungkinan akan terjadi jumlah kematian sebesar 150.000 sebagai skenario kasus terburuk,” ujar Park.

“Satu hal yang mungkin tidak disadari orang adalah biaya kemanusiaan dari isolasi berkelanjutan, yang termasuk akses ke bantuan kemanusiaan eksternal. Isolasi pasti akan meningkatkan kemiskinan, merusak sistem kesehatan dan kemampuan untuk mengakses perawatan secara tepat waktu dan kami memperkirakan sebanyak 90.000 orang mungkin meninggal setiap tahun akibat isolasi yang berkelanjutan. Yang dibutuhkan segera adalah cara untuk membuka kembali negara tersebut untuk membatasi perdagangan dan bantuan dengan cara yang aman," tambahnya

Korea Utara juga bisa sangat rentan karena kelaparan kronis yang terjadi di antara penduduknya. Dengan dua dari lima warga Korea Utara kekurangan gizi, dengan lebih dari 70 persen warganya bergantung pada bantuan makanan, menurut perkiraan PBB.

"Malnutrisi kronis yang terjadi di dalam Korea Utara secara otomatis sangat melemahkan sistem kekebalan dari sebagian besar populasi DPRK," ujar Peters, yang merupakan seorang aktivis yang berbasis di Seoul. Singkatnya, ini adalah bencana yang menunggu untuk terjadi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper