Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Soroti Kemiskinan hingga Omnibus Law, Ekonom: DPR Sekarang Cuma Ngikut Eksekutif

Ekonom Senior INDEF Didik J. Rachbini mengatakan pengelolaan fiskal pemerintah di era pandemi Covid-19 makin runyam karena buruknya kualitas parlemen.
Sidang Paripurna DPR RI Masa Persidangan I Tahun Sidang 2020-2021 - Youtube DPR RI
Sidang Paripurna DPR RI Masa Persidangan I Tahun Sidang 2020-2021 - Youtube DPR RI

Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom Senior INDEF Didik J. Rachbini menyoroti buruknya kinerja DPR RI periode saat ini. Menurutnya, posisi legislatif saat ini hanya mengikuti permintaan eksekutif atau pemerintah.

Menurutnya, pengelolaan fiskal pemerintah di era pandemi Covid-19 makin runyam karena buruknya kualitas parlemen.

“DPR sekarang ini sangat lemah, karena hanya ikut eksekutif. Lihat saja, sekarang budget tidak satu angka pun diubah, [karena] DPR tidak mampu, tidak bisa. Karena seluruh kewenangan dengan Perpu itu sudah diambil oleh eksekutif," katanya dalam diskusi virtual, Rabu (14/10/2020).

Mantan Anggota DPR RI tersebut juga menyoroti soal pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang menuai pro-kontra di masyarakat. Dia menilai fungsi DPR sebagai pengawas jalannya pemerintahan tidak berjalan dengan maksimal.

Terkait Omnibus Law, Didik tidak yakin DPR RI ikut mengevaluasi 70 peraturan yang ikut berubah setelah UU Cipta Kerja diketok pada Senin (5/10/2020) di Senayan.

"DPR sekarang hanya ikut saja, eksekutif itu kuat. Apa aja yang disampaikan eksekutif jalan. Contoh Omnibus Law itu, dari langit ada diskusi langsung ditempel. Gak pake evaluasi dulu itu 79 UU lain. ini Praktik legislasi yang luar baisa buruk. Preseden terburuk dalam sejarah Indonesia," ucapnya.

Bukan itu saja, dia juga mengingatkan angka kemiskinan Indonesia yang lebih tinggi dibandingkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS).

Dia mengatakan utang yang akan diwariskan pemerintahan Joko Widodo kepada presiden terpilih 2024 sangat besar. Berdasarkan data International Debt Statistics (IDS) 2021, utang luar negeri Indonesia pada 2019 mencapai US$402 miliar atau sekitar Rp5.910 triliun (dengan nilai kurs Rp14.700 per dolar AS).

Sayangnya, tingginya utang tidak dimanfaatkan secara maksimal untuk mengurangi angka kemiskinan. Didik mengatakan ukuran tingkat kemiskinan yang digunakan BPS saat ini US$0,9 per orang per hari.

Menurutnya, standar tersebut tidak relevan jika dibandingkan dengan Bank Dunia yang mencatat orang miskin dengan pengeluaran US$2 per orang per hari.

"Kalau pakai data Bank Dunia, angka kemiskinan Indonesia bisa melojak menjadi 70 juta orang. Kesenjangan [antara orang kaya dan miskin] Indonesia nomor tiga di dunia bareng Rusia dan Thailand," imbuhnya.

Menurutnya, tingkat kemiskinan relatif bisa diatasi karena Indonesia memiliki budget yang besar. Sayangnya, hal itu sulit direalisasikan karena jumlah pokok dan bunga utang yang harus dibayar pemerintah sangat besar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper