Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah selesai memeriksa Direktur Utama PT PAL Budiman Saleh. Dia diperiksa sebagai saksi dalam kasus korupsi penjualan dan pemasaran di PT Dirgantara Indonesia tahun 2007 - 2017.
Penyidik KPK mencecar Budiman dalam kapasitasnya saat masih menjabat Direktur Niaga di perusahaan berpelat merah itu.
Budiman dikonfirmasi terkait dugaan perannya dalam kasus tersebut. Dia juga dikonfirmasi ihwal penerimaan cashback dari para mitra penjualan.
"Diperiksa sebagai saksi untuk Tsk BS, penyidik mengkonfirmasi keterangan saksi dalam kapasitasnya saat masih menjabat selaku Direktur Niaga PT DI terkait dengan dugaan peran dan penerimaan cashback dari para mitra penjualan," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri, Kamis (3/9/2020).
Selain Budiman Saleh KPK juga telah rampung memeriksa Sales Manager PT Abadi Sentosa Perkasa Andi Sukandi. Dari Andi, penyidik mendalami keterangan saksi terkait penghubung pihak PT DI dan pihak mitra penjualan dalam hal pembuatan kontrak dan pembayaran.
"Saat terjadi dugaan tindak pidana yang bersangkutan merupakan mantan sales PT DI yang dipekerjakan sebagai karyawan mitra penjualan, penyidik mendalami keterangan saksi terkait penghubung pihak PT DI dan pihak mitra penjualan dalam hal pembuatan kontrak dan pembayaran," kata Ali.
Baca Juga
Sebelumnya, Ketua KPK Firli Bahuri mengungkapkan kasus korupsi ini bermula pada awal 2008, saat Budi Santoso dan Irzal Rinaldi Zailani bersama-sama dengan Budi Wuraskito selaku Direktur Aircraft Integration, Budiman Saleh serta Arie Wibowo menggelar rapat mengenai kebutuhan dana PT Dirgantara Indonesia (persero) untuk mendapatkan pekerjaan di kementerian lainnya.
Rapat itu juga membahas biaya entertaintment dan uang rapat-rapat yang nilainya tidak dapat dipertanggungjawabkan melalui bagian keuangan.
Selanjutnya Tersangka BS (Budi Santoso) mengarahkan agar tetap membuat kontrak kerjasama mitra atau keagenan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan dana tersebut.
"Namun sebelum dilaksanakan, Tersangka BS meminta agar melaporkan terlebih dahulu rencana tersebut kepada pemegang saham yaitu Kementerian BUMN," kata Firli.
Setelah sejumlah pertemuan, disepakati kelanjutan program kerjasama mitra atau keagenan dengan mekanisme penunjukkan langsung. Selain itu, dalam penyusunan anggaran pada rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) PT Dirgantara Indonesia (Persero), pembiayaan kerjasama tersebut dititipkan dalam 'sandi-sandi anggaran' pada kegiatan penjualan dan pemasaran.
Budi Santoso kemudian memerintahkan Irzal dan Arie Wibowo menyiapkan administrasi dan koordinasi proses kerja sama mitra atau keagenan.
Irzal pun menghubungi Didi Laksamana untuk menyiapkan perusahaan yang akan dijadikan mitra atau agen.
Firli mengungkapkan mulai Juni 2008 sampai dengan 2018, dibuat kontrak kemitraan atau agen antara PT Dirgantara Indonesia (Persero) yang ditandatangani oleh Direktur Aircraft Integration dengan Direktur PT Angkasa Mitra Karya, PT Bumiloka Tegar Perkasa, PT Abadi Sentosa Perkasa, PT Niaga Putra Bangsa, dan PT Selaras Bangun Usaha.
"Atas kontrak kerja sama tersebut, seluruh mitra tidak pernah melaksanakan pekerjaan berdasarkan kewajiban yang tertera dalam surat perjanjian kerja sama,” ujar Firli.
Selanjutnya, pada 2011, PT Dirgantara Indonesia (Persero) baru mulai membayar nilai kontrak tersebut kepada perusahaan mitra, setelah menerima pembayaran dari pihak pemberi pekerjaan.
Selama tahun 2011 sampai dengan 2018, jumlah pembayaran yang telah dilakukan oleh PT Dirgantara Indonesia (Persero) kepada 6 perusahaan mitra/agen tersebut sekitar Rp205,3 miliar dan US$8,65 juta.
“Bahwa setelah keenam perusahaan mitra/agen tersebut menerima pembayaran dari PT Dirgantara Indonesia (Persero), terdapat permintaan sejumlah uang baik melalui transfer maupun tunai sekitar Rp96 miliar yang kemudian diterima oleh pejabat di PT Dirgantara Indonesia (Persero) di antaranya Budi Santoso, Irzal, Arie Wibowo, dan Budiman Saleh,” kata Firli.
Perbuatan para tersangka diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara dalam hal ini PT Dirgantara Indonesia (persero) sekitar Rp205,3 miliar dan US$8,65 juta.
Atas perbuatannya, Budi Santoso dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP.