Bisnis.com, JAKARTA – Jepang mencatat rekor kontraksi ekonomi terparah pada kuartal II/2020. Prospek pemulihan kini bergantung pada seberapa cepat peningkatan infeksi virus corona dapat diatasi.
Berdasarkan data awal Kantor Kabinet Jepang yang dirilis Senin (17/8/2020), produk domestik bruto (PDB) pada kuartal kedua terkontraksi hingga 27,8 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/YoY).
Apabila dibandingkan dengan kuartal sebelumnya, PDB kuartal II/2020 terkontraksi 7,8 persen, lebih dalam dibandingkan proyeksi penurunan sebesar 7,6 persen dan kontraksi kuartal I/2020 yang mencapai 0,6 persen.
Sebelum pandemi menghantam ekonomi, anjloknya perekonomian terburuk sepanjang sejarah sejak data tahun 1955 adalah saat krisis keuangan global. Saat itu, PDB Jepang anjlok sekitar 18 persen. Sekarang, setelah tiga kontraksi kuartalan berturut-turut, ekonomi telah menyusut kembali ke level setelah bencana nuklir dan tsunami tahun 2011.
Meskipun data ada pemulihan dalam penjualan ritel dan output pabrik, momentum positif tersebut dapat hilang jika jumlah infeksi mendorong pemerintah untuk memperketat kembali pembatasan pada aktivitas ekonomi.
Menteri Eknomi Jepang Yasutoshi Nishimura mengatakan pemerintah akan melakukan segala upaya dilakukan untuk melindungi pekerjaan dan mata pencaharian serta mendukung perekonomian.
Namun, dia mengatakan ada kemungkinan pemerintah akan menerapkan kembali keadaan darurat jika infeksi melonjak. Untuk itu, ia menyerukan kepada masyarakat dan perusahaan untuk memikirkan cara-cara mencegah penularan virus sekaligus meningkatkan kegiatan ekonomi.
"Jika kita kembali ke cara hidup kita dulu, infeksi akan meningkat,” ungkapnya, seperti dikutip Bloomberg.
Asalkan tidak ada penerapan kembali keadaan darurat, analis memperkirakan ekonomi Jepang tumbuh sekitar 12,7 persen pada kuartal III/2-2- dan kemudian melambat setelahnya.
Salah satu lembaga think tank terkemuka Jepang mengatakan PDB Jepang kemungkinan tidak akan kembali ke level sebelum pandemi hingga akhir tahun fiskal 2024.
Namun, stimulus besar-besaran pemerintah senilai sekitar US$2 triliun, termasuk pemberian uang tunai, subsidi pekerja, dan jaminan pinjaman untuk bisnis, telah membantu mencegah lonjakan kebangkrutan atau tingkat pengangguran.
Meskipun dukungan tersebut akan membantu pemulihan ekonomi selama beberapa bulan mendatang, para ekonom masih mengharapkan adanya lebih banyak bantuan dari pemerintah, baik menggunakan cadangan yang disisihkan untuk tindakan ekstra atau dengan anggaran tambahan.
“Meskipun skalanya mungkin tidak besar, pemerintah mungkin akan mengumpulkan anggaran tambahan ketiga pada akhir tahun ini atau awal tahun depan. Masih sulit untuk fokus pada revitalisasi permintaan pada saat ini,” kata ekonom IHS Markit Harumi Taguchi.
“Penekanan pertama-tama harus ditempatkan untuk menjaga laju bisnis tetap berjalan jika peningkatan infeksi tidak dapat dikendalikan,” ungkapnya.